Bab 14

1K 84 31
                                    


Kedua temanku berencana untuk menginap di rumah karena kebetulan besoknya masih hari Minggu. Mereka beralasan bahwa kami adalah wanita-wanita dewasa yang akan segera mengakhiri masa lajang.

"Emang hubungan lu sama Bilal gimana sih, Mir? Rumit kayaknya." Andreas yang sore itu baru tiba dari rumah Ghana terlihat lelah seperti habis menggembala kerbau seharian.

Miranti tersedak seketika sambil tersipu malu, namun nampaknya Heri mengerti dengan hubungan Miranti serta sosok yang bernama Bilal itu.

"Bilal anak kedokteran yang satu kost sama kamu waktu di Jogja, Ndre? Oh, beruntungnya kamu Mir. Dia pinter, ganteng dan jomblo." Heri terkikik lalu menonjok lengan Andreas.

"Iya, Bilal yang itu. Gua kenalin nih sama Mak Lampir waktu itu, eh nggak tau dah gimana lanjutannya. Gimana dah, Mir? Lu terbuka kalau urusan orang tapi masalah lu di umpetin mulu dah kayak harta karun."

Miranti bercerita, suatu malam merasa sakit perut yang sungguh sangat melilit karena datang bulan. Kebetulan, dia sedang menangani proyek yang melibatkan beberapa surat perjanjian dan sedang disahkan oleh Andreas.

Andreas menghubungi salah satu teman yang kebetulan sedang berjaga di salah satu rumah sakit swasta sebagai dokter umum di UGD.

"Gua anterin deh, Mir. Ntar lu pingsan di jalan, gua lagi yang repot di tanya-tanya keluarga lu."

"Nggak perlu, Bro. Gua langsung pulang aja nanti. Siapa tadi nama temen lu?"

"Bilal. Dokter Bilal."

Miranti mengawang saat menceritakan awal pertemuannya dengan Bilal. Saat itu dia mengira dokternya sudah tua. Karena Andreas memang suka sekali mengerjai dirinya.

"Gua ke rumah sakit dong ya, nih dasar badut aneh lu. Kesel gua." Miranti melempar salah satu sandal ke arah Andreas sebelum melanjutkan ceritanya.

"Gua ke UGD, trus ada dokter ganteng banget sumpah, datang pegang-pegang gua. Nih siapa dah. Ya orang ganteng mah bebas. Gua pasrah aja kayak gadis lemah. Lagian dia emang dokter di sana. Perawat yang lewat manggilnya 'dok-dok' gitu deh ya."

Miranti mengeluarkan ponsel dan menunjukkan wajah dokter itu kepada kami berdua. Aku dan Fani. Membuat mata kami terbelalak. Dokternya memang tampan dan terlihat manis.

Miranti tersenyum sambil menceritakan lagi saat Dokter Bilal menuliskan resep untuknya, "tulisannya harus banget ruwet nggak karuan begitu, Dok?" tanya Miranti.

Dokter Bilal hanya tersenyum sambil merobek kertas resep itu, "biar kamu nggak bisa menyalin, nanti kalau kamu nyontek gimana?"

Miranti yang sedari tadi menggerak-gerakkan kaki akhirnya menendang lutut Bilal di bawah meja.

'Dubb'

"Awh ... anda kenapa sebenarnya? Marah nggak bisa membaca resep saya?"

"Sorry ... sorry, Dok. By the way, anda pakai bleaching merek apa, wajahnya bisa glowing begitu?" Miranti bercerita bahwa dia berusaha cepat-cepat mengalihkan perhatian Bilal dengan perasaan tak karuan.

"Masa sih saya glowing, sebentar. Saya mesti ngaca dulu sepertinya."

Miranti mencebik sambil menutup wajahnya. Andreas memang hebat, mengenalkan dirinya pada dokter setampan dan sebokis Bilal.

"Kok kamu jadi melamun sambil menamati wajah saya, emang saya ganteng ya?"

"Dokter. Ih, nggak jelas."

"Oke, siapa tadi namanya?" Dokter Bilal nampak ingin menulis di kertas resepnya.

"Esperansa."

"Oke, saya Gustavo."

Kamar KostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang