Kedua orang tua Ghana akhirnya membawa anak kesayangan mereka untuk melakukan bedah plastik di Korea. Kondisi Ghana sudah membaik, meski begitu mereka tetap menggunakan pesawat yang dicarter khusus untuk menjaga privasi keluarganya.
"Nasya apa kabar, Mah?"
Ghana yang menderita luka bakar sangat hebat di sekujur tubuhnya merasa begitu cemas memikirkan Nasya. Terakhir, dia bahkan masih bisa merasakan wajah Nasya yang basah dengan derai air mata ketakutan.
Samar-samar seakan lirih suara gadis itu masih terdengar di telinganya. "Ghana, aku takut."
Ghana mendekap erat tubuh Nasya dan membiarkan dirinya terbakar api yang mulai menyelimut tubuh keduanya. Pemuda itu mengusap wajahnya saat Nyonya Hermas berpaling menatap ke luar jendela. Dia melihat bahwa wanita yang telah melahirkan dirinya itu tidak terlalu antusias membahas Nasya.
"Nasya hidup atau mati, bukan kita yang memutuskan. Ada Tuhan dan juga bagaimana keluarga menjaganya. Selebihnya, dia bukan lagi urusan kita." Nyonya Hermas memanggil seorang pramugari untuk meminta minuman. Wanita itu sangat kesal karena luka yang diderita Ghana lebih parah ketimbang Nasya.
Kasus yang menimpa Ghana dan Nasya akhirnya menemui titik terang saat Miranti memerintahkan Mario untuk menyerahkan diri. Tentu saja dengan ancaman bahwa dia akan mengadukan ulah Mario kepada orang tua mereka.
“Lebih baik lo mengaku karena lo juga dapat perintah ini dari Ghana, kan? Lo ceritakan seada-adanya aja kalau lo cuma disuruh!” Miranti memberondong saudara laki-lakinya agar bersedia mengaku.
“Yah kenapa juga gue mau disuruh-suruh?” Mario balik bertanya dengan wajah menyebalkan.“Mana gue tau tapi jawab aja karena otak lo emang nggak waras, Mario!”
Mario tertawa dan mengambil botol pipih dari dalam lacinya. Minuman beralkohol. Laki-laki itu sudah cukup berkawan dekat dengan maksiat, sehingga sulit sekali mengajaknya bicara baik-baik.
Namun Miranti sudah menyiapkan beberapa pengacara untuk membantu saudaranya itu di pengadilan. Dia juga tidak sampai hati membiarkan Mario terlalu lama merasakan dinginnya dinding penjara.
Tiba-tiba ponsel Miranti berbunyi dari Fani yang ternyata mengajaknya untuk berfoto bersama semua Bridesmaids dan Groomsmen sebelum acara pernikahan.
“Pakai gaun pengiring pengantin?” tanya Miranti.
“Lengkap sama make – upnya, Sayang. Jam tujuh malam ya, kita ketemu di studio foto. Oke. Sun dulu … hwah.” Fani terkikik sambil melirik Andreas.
Miranti langsung mengingat sahabatnya, Nasya yang sedang dalam masa pemulihan di rumah. Dia sudah bisa menebak pasti Nasya akan panik karena selama ini gadis itu kurang bisa berdandan, sehingga muncul ide di kepalanya bahwa akan menyewa satu orang make-up artist untuk merias wajah mereka berdua di rumah Nasya.
Beberapa jam kemudian kedatangan Miranti di rumah Nasya memang begitu mengejutkan, apalagi gadis itu terlihat belum pulih sepenuhnya pasca musibah yang terjadi.
“Berfoto? Ya ampun, Miranti. Kenapa mendadak sih?” Nasya bergumam kesal sambil memeriksa perlengkapan make-upnya.“Tenang, Sya. Gue udah manggil MUA buat ngedandanin kita berdua. Lo santai aja.” Miranti membungkuk dan memoles cat kuku di jari-jari kakinya. Sedangkan Nasya malah sibuk mengempaskan baju bridesmaid di tubuhnya.
Menjelang keberangkatan ke studio poto, Heri tiba menggunakan mobil pribadi, bukan kendaraan inventaris dengan bak terbuka berisikan karung-karung seperti sebelumnya.
Pemuda tampan itu terlihat keren mengenakan setelan jas warna hitam, sambil membawa sekuntum mawar merah untuk kekasihnya.
“Eh, Nak Heri. Kalian pada mau ke mana sih ini sebenarnya. Pada dandan all out malam-malam begini,” tanya Ayah saat membukakan pintu untuk Heri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamar Kost
Любовные романыAda pepatah bijak mengatakan, jangan pernah menceritakan kelebihan, kebaikan pasangan kalian pada orang lain. Karena itu sama halnya membuka jalan dan memancing penasaran bagi orang lain untuk masuk ke dalam hubungan sebagai pihak ketiga. Begitu pu...