Andreas tiba di rumah Ghana dengan satu tujuan, menyampaikan bahwa kasus kecelakaan yang melibatkan dirinya harus segera diselesaikan atau Ghana akan menghadapi tuntutan hukum.
"Gue kira sudah lo beresin. Kenapa lagi sih?"
"Gue bilang akan ditempuh dengan jalur kekeluargaan, bukan gue beresin. Enak aja lo."
Ghana menebar pandangan, jaga-jaga jika ada yang mendengar di rumah itu. "Gue bayar aja deh. Atur damai."
"Lo kebiasaan, Bray. Datang, minta maaf baik-baik kenapa sih? Heri sama Nasya nggak mati. Nggak cacat. Mereka juga nggak mungkin jitak pala lo gara-gara numbur dari belakang." Andreas mulai tersulut emosi.
Nasya.
Ide yang bagus saat Andreas mengatakan bahwa dia harus berdamai dengan Nasya. Sekian lama menjalin hubungan, setidaknya Ghana sangat hafal karakter gadis itu yang terlalu lemah untuk sekedar marah.
Lagi pula ini kesempatan, bisa bicara dengan Nasya, siapa tahu sambil menyelam minum air.
"Oke, antarin gue sekarang."
"Ke mana?"
"Ke rumah Nasya. Lo butuh poto gue lagi salaman sama korban, kan?"
Ghana bergegas masuk ke dalam rumah mengambil beberapa barang. Ghana juga menyiapkan sejumlah uang dalam nominal besar untuk sekedar berjaga-jaga.
Ghana merasa urusannya dengan Nasya akan mudah diselesaikan.
Padahal, di kamar kos Nela, Pak Gito yang sedang mengambil beberapa pakaian ganti putrinya menemukan surat yang ditulis sebelum Nela melakukan percobaan bunuh diri.
Surat itu menerangkan dengan sangat terang benderang siapa laki-laki yang paling bertanggung jawab atas semua keadaan ini.
[Ghana yang tak pernah lelah membawaku ke dalam dosa, seakan mengunciku dengan kesenangan dunia. Namun aku tak mengerti kenapa hingga saat ini tak pernah mampu untuk berhenti.]
Ghana.
Pak Gito memicingkan mata ke arah tumpukan sampah di sudut kamar Nela, sebuah pembungkus pengaman bekas pakai yang belum dibuang.
"Brengsek!"
Pak Gito meninggalkan istrinya yang sibuk merapikan pakaian putri mereka.
"Mau ke mana, Pa?"
"Membunuh orang!"
Pak Gito langsung kembali ke rumah sakit untuk bertanya siapa Ghana dan di mana laki-laki itu bisa ditemukan. Seharusnya dari awal Nela jujur mengatakan itu semua agar masalahnya tidak berlarut-larut.
Pantas saja dia begitu berat meminta pertanggung jawaban kepada Heri. Bukan pemuda itu ternyata yang harus bertanggung jawab.
"Berikan alamat rumah Ghana." Pak Gito menyodorkan ponselnya pada Nela agar bisa diketik satu alamat di sana.
"Ghana? Papa kenapa bertanya tentang Ghana?"
Tangan Nela bergetar takut-takut. Dia lupa bahwa pernah menulis sebuah surat wasiat yang berisikan pengakuan dengan rinci mengenai apa yang terjadi pada hidupnya.
"Papa harus bicara dengan Ghana."
"Tapi kenapa?" Nela berusaha keras menutupi keterkejutannya. Dia mulai cemas kalau sampai Pak Gito mengetahui simbiosis mutualisme antara dia dan Ghana.
Kenikmatan dan materi.
***
Menjelang pukul sepuluh malam, Heri baru selesai menyelesaikan pekerjaannya. Dia merasa terlalu malam bagi seseorang untuk bertamu ke rumah orang tapi di sisi lain, Heri sudah berjanji akan membelikan Nasya martabak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamar Kost
عاطفيةAda pepatah bijak mengatakan, jangan pernah menceritakan kelebihan, kebaikan pasangan kalian pada orang lain. Karena itu sama halnya membuka jalan dan memancing penasaran bagi orang lain untuk masuk ke dalam hubungan sebagai pihak ketiga. Begitu pu...