Bab 28

751 72 20
                                    

        Bilal tiba di rumah saat Ibunya selesai menyiapkan makan malam. Wanita paruh baya itu memasak sup ayam dan membuat es buah favorit anak-anaknya.

"Assalamu'alaikum ya, Ibu." Bilal menengok dari  jauh, tidak ada senyum sama sekali di bibir Ibunya. 

Pertanda buruk.

Perlahan-lahan Bilal meletakkan sepatu di tempatnya kemudian langsung masuk ke kamar sambil berjinjit.

"Bil, Oppa. Kakek-kakek tua. Tadi ada Mbak-mbak nganterin kamu jas buat nikahan. Sini dulu!" Suara Ibu melengking memecah hening menjelang bedug Magrib saat itu.

Kakak perempuan Bilal yang kebetulan sedang menginap di rumah mereka juga terkejut bukan kepalang. 

Resti, Kakak perempuan Bilal tengah menanti kelahiran anak ke tiga dan diprediksi kembar, sehingga untuk sementara waktu Ibu memintanya tinggal di rumah bersama mereka, agar ada yang membantu mengurus anak-anaknya.

"Bil, ayolah. Mbak lagi sakit kepala nih. Kamu mau nikah sama siapa?" Resti ikut mengetuk pintu kamar Bilal sambil setengah merintih merasakan kepalanya sakit. 

Bilal terdiam, pikirannya langsung kosong. Akal sehatnya menghilang kala mendengar suara Ibunya melengking menuduh tanpa mencari tahu keberanarannya.

Sejenak pandangan matanya berpendar lalu mengatup dan pemuda itu menutup wajahnya dengan bantal sambil bergumam, "tuduhlah aku ... sepuas hatimu ...." 

Tak lama kemudian dia hanyut terlelap dalam tidur karena lelah setelah bekerja. Bilal merasa butuh mengembalikan akal sehat dan tenaganya saat akan menjelaskan perihal jas pernikahan yang dia tahu itu dari Miranti.

Pertanyaan selanjutnya yang akan dilontarkan oleh Ibunya adalah, "siapa Mbak-mbak tadi?"

"Adikmu itu sejak jadi dokter suka aneh kelakuannya, Resti. Ibu takut dia terlalu fokus sama pasiennya." Ibu yang sibuk mengatur posisi duduk cucu-cucunya terlihat mengernyit. 

Memasang pengaman Baby Chair untuk cucunya nomer dua yang nampak tak bisa diam dan selalu ingin bermain.

"Aneh gimana, Bu? Bilal sudah bekerja sangat keras. Dia bahkan sering lembur sampai lupa mencari pasangan." 

Ibu menyipitkan kedua matanya ke arah anak perempuannya itu, "pasangan-pasangan. Perempuan sekarang hanya mau laki-laki yang sudah sukses. Mereka mana mau laki-laki kalau belum mapan."

"Memangnya Ibu mau, waktu itu Resti nikah sama laki-laki pengangguran yang belum jelas pekerjaannya?" 

"Ya beda, Nduk. Kamu waktu itu wanita karir, pinter, makanya bisa memilih yang terbaik."

"Ah, masa. Kayaknya waktu itu Ibu nggak ngomong begitu deh." Resti menyuap es buah lagi dan bergidik saat menggigit pecahan es batunya.

Ibu terdiam dan langsung menoleh ke arah cucunya yang dari tadi mulutnya sudah terbuka namun makanan tak juga disuapkan karena sibuk mengobrol.

Miranti yang pulang dari rumah Bilal, mengantar jas groomsmen untuk pernikahan Andreas dan Fani, terlihat cemas menunggu respon dari Bilal meskipun hanya sekedar ucapan terima kasih.

Sebuah kartu ucapan kecil terselip di kantung jas bagian depan bertuliskan, "Maaf dan saat ini aku sedang sakit."

"Jasnya Bilal sudah gue antar, Fan." Miranti tergugu saat ingin melanjutkan kata-katanya. 

Teringat ketika ibunya Bilal berkata bahwa biasanya Bilal jarang langsung pulang dari rumah sakit. 

"Paling sering sih pergi sama Safira, kalau sudah jalan berdua. Bisa-bisa tunggu Mall tutup baru pulang," ucap Ibunya Bilal.

Kamar KostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang