Bab 18

890 85 11
                                    


Keesokan harinya, Minggu pagi di rumah Andreas. Pria bertubuh atletis itu sudah bersiap untuk olah raga. Andreas memang selalu memperhatikan fisiknya. Dia selalu ingin terlihat sehat dan segar.

"Beibs, mau ngomong serius bisa nggak?" Fani tiba-tiba saja berdiri di depan pintu rumahnya dengan wajah kesal. Wanita yang hanya mengenakan pakaian santai dengan celana pendek serta t-shirt bergambar beruang itu menarik tangan Andreas agar keluar rumah.

"Eh, napa nih cewek cakep pagi-pagi bukannya nganterin sarapan. Main tarik-tarik aja. Kenapa sih, Hun?"

"Nela nginep di rumah semalam. Dia kayak tertekan banget sampai takut balik ke kostnya."

"Hah! Kenapa lagi sih dia ya ampun. Eh, maksudnya di mana dia sekarang? Kamu kenapa nggak mandi sih, Hun. Yuk ke dalam. Mandi dulu."

"Enak aja. sudah mandi sih."

Fani bercerita bahwa Nela sudah terlanjur mengatakan perihal Heri kepada kedua orang tuanya. Papanya Nela bahkan berencana melayangkan tuntutan secara hukum jika Heri tidak beritikad baik segera menikahi Nela.

Posisinya yang berada di tengah-tengah konflik sungguh membingungkan. Satu sisi semua itu begitu tak adil bagi hubungan Heri dan Nasya yang tengah manis-manisnya pasca keduanya sama-sama dikhianati.

Sisi lainnya, Fani mengetahui bagaimana tekanan yang dihadapi oleh Nela. Dia harus menghadapi sendiri keluarganya, ditinggalkan kekasih dan juga teman-temannya.

"Terus maksudnya, gimana sih, Hun. Mereka kenapa masalahnya nggak selesai-selesai dah?" Andreas menggigit kuku-kuku jarinya.

"Ya karena mereka tuh posisinya sama-sama nggak ikhlas gitu, Beibs. Jaga-jaga aja sih, tolong carikan pengacara buat bantuin Heri ya. Kasihan loh dia, mana sudah mau nikah sama Nasya."

"Ghana juga sedih banget. Dia bilang mau berubah dan minta maaf bahkan dia mau minta ampun coba. Bukannya minta ampun ama Tuhan malah sama Nasya. Sama Bokap Nyokapnya aja belum tentu dia minta ampun."

"Terus kamu bilang apa?"

"Nggak ada kayaknya. Itu juga dengernya samar-samar, ngantuk banget sumpah."

"Ehlah."

Di tengah pembicaraan, sebuah mobil sedan tiba dan pemuda tampan berlesung pipi membuka kaca jendela, "nggak jadi?"

Bilal dan Andreas berencana olah raga bersama pagi itu. Fani melambaikan tangan dengan ramah meski nampak tak terlalu akrab dengan Bilal. Fani tahu bahwa Bilal adalah sosok yang sedang dekat dengan Miranti meskipun hubungan mereka masih abu-abu.

"Jadi, Dok. Nunggu cewek ini pulang."

"Yah ...."

"Gimana dong."

Fani beranjak dari tempat duduknya dan mengangkat kedua tangan. Sambil menyambar tas, berharap Andreas menahan dirinya dan mengajak ikut bersama untuk olah raga saat itu. Namun sayang sekali Andreas justru melambaikan tangan, "bye, Fani cantik."

"Nggak jelas!" sergah Fani dengan nada kesal.

***

Pagi itu juga, Nasya sudah bersiap untuk berangkat ke pasar. Menemani Ibu berbelanja sambil cuci mata melihat-lihat apa yang sekiranya menarik untuk dibeli. Nasya sudah bersiap mengenakan jaket warna merah bergambar Tazmania pada bagian punggungnya. "Ayah saja yang mengantar, sekalian mau beli pakan burung."

Ayah membuka bungkusan-bungkusan makanan burung yang ternyata hampir habis. Setiap hari Minggu, mereka selalu berebut mengantarkan Ibu ke pasar dengan tujuan masing-masing.

Kamar KostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang