Tubuh Miranti ditahan oleh Ibunya Heri. Dijauhkan dari Ghana yang rasanya sulit untuk berdiri setelah wajahnya mendapatkan satu hantaman keras.
"Bangun lu, Ghan. Sini lawan gua. Pengecut!" Miranti meludah ke samping sambil terus meronta untuk melepaskan diri. Gadis itu bagai singa betina yang lapar, merasa Ghana memang harus mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
"Asal lu tahu ya, Ghan. Nasya sama Heri itu cuma korban yang sedang berusaha move on dan lu mau ngacak-acak mereka berdua lagi. Lu punya otak nggak sih, heran gua. Sini lu gua bikin pinter dikit." Miranti terus saja melontarkan kalimat-kalimat kasarnya.
Andreas bergegas membantu Ghana untuk berdiri dan Bilal memeriksa apakah ada luka serius di wajahnya. Diam-diam, Bilal tersenyum ke arah Miranti serta memberi kode dengan mengacungkan jempol.
"Gua nggak ada urusan sama lo ya, Mir. Jangan sampai kita jadi punya masalah pribadi gara-gara ini." Ghana menunjuk ke arah Heri yang sedang ditahan oleh Bapaknya agar tidak melanjutkan perkelahian.
"Oh, jadi menurut ini masalah apa, urusan negara? Ini emang masalah pribadi, Kurap!" Ibunya Heri cepat-cepat membekap mulut Miranti agar wanita itu berhenti berkata yang tidak-tidak.
"Lu gimana sih, Ghan. Padahal tujuan kita ke sini supaya kalian bisa berdamai, kenapa sih lu nggak ngerti juga. Bisa-bisa gua sendiri yang bakal masukin lu ke penjara!" Andreas berkata dengan lantang hampir frustasi sambil menepuk lengan Ghana yang menatap tajam ke arah Miranti.
Ketegangan itu berakhir setelah Nasya mengabarkan bahwa untuk satu malam, dia harus dirawat di rumah sakit karena retakan pada tangan kirinya masih harus dipantau kondisinya. Setelah mengulas senyum membaca pesan dari Nasya, Heri berlalu meninggalkan tempat itu untuk menemui kekasihnya.
Langkahnya lebar-lebar saat melihat Nasya akan segera dipindahkan ke ruang perawatan dengan tangan yang sudah diperban. Gadis itu sudah berganti pakaian dan rambutnya juga sudah diikat oleh Ibunya.
"Biar saya saja," ucap Heri sembari mengambil alih kursi roda dari seorang perawat yang membawa Nasya menuju ruang perawatan.
"Heri, kayaknya kita nggak bisa nikah deh. Kondisiku lagi begini. Mungkin diundur." Nasya terdengar sedih ketika mengatakannya. Gadis itu begitu cemas ketika dokter mengatakan bahwa Nasya butuh waktu beberapa bulan hingga sembuh total seperti sedia kala.
"Kamu nih lagi mencari alasan supaya pernikahan kita batal ya?"
Nasya mencekal tangan Heri sambil menamati wajah pemuda itu yang terlihat tidak terlalu baik-baik saja. Beberapa luka goresan bekas bergesekan dengan aspal terlihat di pelipis serta beberapa bagian tubuh lain.
"Kalau pakai perban akan jelek di foto."
"Di foto gimana maksudnya?"
"Nanti di atas pelaminan, kita nggak berfoto memangnya?"
Heri tertawa kecil sambil mengusap kepala Nasya dengan lembut, "kamu kenapa malah mikirin foto sih? udahlah fokus aja dulu buat sembuh."
Jalanan menuju ruang perawatan terasa begitu singkat ketika kedua sejoli yang memadu kasih justru sibuk memikirkan rencana-rencana pernikahan dengan kecemasan masing-masing. Musibah yang menimpa keduanya justru membuat mereka jadi lebih dekat lagi bahkan Nasya mulai merasa nyaman berada di sisi Heri.
Bukan karena limpahan materi seperti yang selalu dilakukan oleh Ghana, tapi sebentuk kasih sayang serta perhatian yang manis. Saat tiba di ruang perawatan juga Heri menggendong Nasya dari kursi untuk naik ke atas ranjang.
Heri juga mengusap wajah Nasya yang terlihat sembab sehabis menangis. Meyakinkan Nasya bahwa tidak akan ada yang tertunda apalagi batal. Semua akan terjadi sesuai rencana semula bagaimanapun keadaannya. Heri bahkan berjanji akan mengurus segalanya agar berjalan sesuai kesepakatan awal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamar Kost
RomanceAda pepatah bijak mengatakan, jangan pernah menceritakan kelebihan, kebaikan pasangan kalian pada orang lain. Karena itu sama halnya membuka jalan dan memancing penasaran bagi orang lain untuk masuk ke dalam hubungan sebagai pihak ketiga. Begitu pu...