Sejak kepergian Tuan Hermas, otomatis Ghana yang berlaku mewakili apapun keputusan-keputusan bisnis bagi perusahaan. Sebenarnya Ghana memiliki bakat dan intuisi yang bagus, diturunkan dari ajaran-ajaran Tuan Hermas yang sempat diserap olehnya.
Sisanya, Ghana hanya mengandalkan kepentingan pribadi semata, menguntungkan diambil dan jika tidak maka akan ditinggalkan begitu saja. Tidak banyak pertimbangan yang bisa dia pikirkan karena memang kapasitas otaknya yang belum terlatik seperti Tuan Hermas.
Siang itu genap empat puluh hari kepergian Tuan Hermas dan kehidupan keluarga Ghana sudah berangsur normal karena memang keadaan tak memungkinkan untuk mereka berduka terlalu lama.
"Kamu sudah mau ke kantor, Sayang?" Nyonya Hermas yang masih mengenakan kerudung hitam terlihat polos tanpa make up sedikit pun di wajahnya.
Suasana ruang makan super luas dengan meja serta kursi-kursi megah bertemakan modern minimalis, nampak lebih lengang dari biasanya. Tak ada canda tawa dan kalimat-kalimat motivasi yang biasa dikatakan sang pemimpin keluarga di pagi hari.
Hanya terdengar denting-denting peralatan makan yang saling bersentuhan, itu pun sesekali. Sepasang ibu dan anak seolah bagai dua orang asing yang justru disibukkan dengan ponsel masing-masing, meski sesekali saling bertanya juga sekedar basa-basi.
"Harus ada yang melanjutkan perusahaan kita, bukan?" Ghana mengunyah potongan roti panggang yang dilapisi dengan salt butter.
"Apa rencanamu sekarang? Fokus mengembangkan usaha papamu? Itu bagus ... sangat bagus." Nyonya Hermas menyelipkan anak rambut yang menjutai menutupi wajah ke balik telinga.
"Mengembangkan? Not really, melebarkan lebih tepatnya. Ghana berencana menanamkan modal dua puluh milyar di perusahaan penyedia fasilitas pengeboran lepas pantai, ehem ...."
Nyonya Hermas tertegun mendengar nominal yang akan digelontorkan oleh putranya, apalagi profil perusahaan itu tidak sebesar milik keluarga mereka. Hanya perusahaan lokal yang memiliki work shop di pulau Kalimantan dan Papua Barat.
Untuk wilayah Papua bahkan belum ada pengembangan usaha sehingga profit di sana belum terlihat menggiurkan pada penawaran perdana. Perusahaan itu kebetulan tempat Heri bekerja dan sedang ber-expansi ke wilayah timur nusantara.
Para komisaris mengambil keputusan untuk mencari investor guna mengembangkan usaha di sana, menyediakan fasilitas penambangan emas di wilayah Distrik Masni, Kabupaten Manokwari, Papua Barat.
"Kalau baru expansi resikonya terlalu besar, Ghana, kenapa tidak ditahan saja dulu sampai keadaan benar-benar kondusif," ujar Nyonya Hermas.
"Ada yang lebih besar dari semua itu, Ma. Tapi rasanya mama tidak perlu mengetahuinya. Nanti saja." Ghana menyeka bibirnya kemudian beranjak meninggalkan ruang makan untuk mengambil beberapa barang di kamarnya.
Nyonya Hermas hanya bisa termenung sambil sesekali menamati sudut-sudut ruangan yang semakin terasa dingin tanpa keberadaan teman hidupnya. Sebagai wanita normal yang masih sangat bersemangat, empat puluh hari tanpa sentuhan kehangatan dari sosok pria bukanlah perkara enteng baginya.
Hidup memang seperti sebuah sinema dalam teater imajiner Sang Maha Penguasa, di mana semua manusia dalam lubuk ingatannya bahkan bisa merunut sebuah titik rol film dan memutar kembali perjalanan panjang dari waktu ke waktu, seperti halnya banyak rahasia dalam hidup wanita itu tentang bagaimana dia mewujudkan diri menjadi wanita sempurna, namun banyak menyimpan luka. Bagaimana selama ini dia sekuat tenaga berusaha bersikap anggun dan berkelas di hadapan orang - orang meski nyatanya banyak hal hina yang dilakukan diam-diam.
Melakukan hubungan gelap dan lebih gila lagi, mendekati Andreas. Teman baik anak kandungnya sendiri.
"Oh, God!" lirih wanita itu sambil mengucak matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamar Kost
عاطفيةAda pepatah bijak mengatakan, jangan pernah menceritakan kelebihan, kebaikan pasangan kalian pada orang lain. Karena itu sama halnya membuka jalan dan memancing penasaran bagi orang lain untuk masuk ke dalam hubungan sebagai pihak ketiga. Begitu pu...