Nela akhirnya sadar saat mendengar suara Papa sedang berbicara dengan Andreas. Pria itu ingin mengusut tuntas apa yang sebenarnya terjadi dengan Nela. Kehamilan, keguguran dan percobaan bunuh diri.Semua begitu tidak masuk akal jika mengingat bahwa Nela diajarkan untuk menjadi wanita kuat dan mandiri selama ini oleh orang tuanya.
"Nela yang sekarang, seperti bukan anak saya. Pak Andre."
"Semua manusia bisa berubah menjadi siapa saja, apa saja tapi anak tetaplah anak, Pak Gito." Andreas menekan hidung bagian atas karena tidak habis pikir dengan sanggahan-sanggahan Pak Gito tentang psikis putrinya.
Pria itu tidak percaya bahwa Nela bisa melakukan kesalahan sebesar itu hingga mencoreng nama baik keluarga. Dia merasa, seseorang harus bertanggung jawab atas mental illness yang dialami oleh Nela.
"Saya ingin siapapun yang membuat Nela jadi seperti ini, diusut tuntas."
Andreas mengernyit. Semakin bingung dengan sikap Pak Gito yang tidak mau menerim kenyataan, ada yang salah pada diri Nela.
"Saya mau menjawab telpon dulu Pak Andre. Titip Nela ya."
Papanya Nela bergegas keluar kamar setelag menggeser tombol berwarna hijau. Meninggalkan Andreas hanya berdua saja dengan Nela di dalam kamar perawatan karena Fani sedang bicara dengan Mamanya Nela di bangku lorong rumah sakit.
"Ndre ...." Nela menyapa lemah sambil mengulurkan tangannya. Andreas menyambut tanpa bermaksud apa-apa, namun ternyata Nela memiliki penilaian yang lain.
"Ndre, gue salah nggak sih kalau ngerasa nyaman pas dekat sama lo gini."
"Nela, lo udah kayak bangkit dari kubur deh. Hei ... lo kenapa dah pakai acara gantung diri segala."
"Emang kenapa, salah ya?"
Andreas membulatkan matanya, "pakai nanya, serem!"
Nela tersenyum kecut. Jemarinya merangkak menyentuh tangan Andreas yang begitu kekar mencengkeram pinggiran ranjang tempatnya berbaring.
"Gue nggak keberatan sih, Ndre." Nela semakin mengusap dengan sensual jemari Andreas, "kalau mau jadi yang kedua."
Andreas terdiam, "kenapa lo nggak tanya sama Fani dulu sebelum ngomong begini ke gue sih, Nel?"
"Trus lo pikir, Fani akan setuju. Lo pinter-pinter oneng ya, Ndre."
Tiba-tiba terdengar suara ketus dari belakang Andreas. Fani memandang dengan sorot mata berbeda kedua orang di hadapannya.
"Andreas, gue mau pulang. Sekarang!"
Seperti yang sudah-sudah, Nela selalu punya jurus andalan.
"Fani. Kangen." Nada manja dan kedua tangan merentang siap mendekap. Namun kali ini Fani bergeming. Dia bukan Nasya yang mudah merasa iba atau Miranti dengan prinsip kesetia kawanannya.
Fani adalah wanita lembut namun tegas apalagi jika itu menyangkut hubungannya dengan Andreas. Tidak akan ada kompromi sama sekali.
"Gue sedang nggak berminat basa-basi. Sorry. Lo mau ikut gue pulang nggak, Ndre?"
Andreas mengangguk mengikuti langkah Fani dari belakang, "Fan ...."
"Nggak perlu!"
"Fani." Andreas berusaha menjelaskan tentang apa yang terjadi namun Fani tidak mau menghentikan langkahnya.
"Gue bilang nggak perlu!"
"Oke maaf. Gue yang salah."
💜💜💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamar Kost
RomanceAda pepatah bijak mengatakan, jangan pernah menceritakan kelebihan, kebaikan pasangan kalian pada orang lain. Karena itu sama halnya membuka jalan dan memancing penasaran bagi orang lain untuk masuk ke dalam hubungan sebagai pihak ketiga. Begitu pu...