Bab 13

975 92 10
                                    


     Seketika keadaan rumahku gaduh oleh teriakan Ghana yang memaksa Heri untuk berkelahi. Beberapa pria langsung menghambur untuk melerai mereka berdua.

Ayahku, Bapaknya Heri, terlihat menatap kami berdua berganti-gantian. Sedangkan yang lain termasuk Andreas membuat jarak antara Heri dan Ghana.

“Kamu pengkhianat, Her. Urusan kita akan panjang. Ingat itu!” Ghana berteriak sambil terus mengarahkan telunjuknya kepada Heri.

“Apa begini caramu menyelesaikan masalah, Ghan? Kenapa kita tidak bicara baik-baik?” Heri mulai mengepalkan kedua telapak tangannya.

“Bicara baik-baik dengan laki-laki sialan sepertimu, buat apa? Maju!” Ghana melambai-lambaikan jemarinya untuk memancing Heri agar melayaninya berkelahi.

Heri bergeming meskipun sesaat kemudian, Ghana berusaha untuk maju menyerang namun terjatuh karena seharusnya dia belum pulih dan harus menggunakan alat bantu berjalan berupa tongkat yang sengaja di lemparkan di sisi lain.
Ghana jatuh tersungkur, memukul ke tanah penuh rasa amarah.

Dia kesal dengan ketidak berdayaannya untuk mengajak Heri berkelahi. Beberapa pria yang kebetulan berada di sekitar kami, dengan cekatan membantu Ghana untuk berdiri meskipun dia nampak meringis kesakitan.

Fani terlihat memarahi Andreas, sedangkan Miranti justru sibuk melerai mereka berdua yang bertengkar. Miranti meminta agar Andreas melakukan sesuatu yang belakangan kutahu, agar mengantarkan Ghana pulang ke rumah.

Andreas langsung mengambil alih untuk memapah Ghana menuju ke mobilnya hendak mengantarkan pulang. Beberapa kali, Andreas membungkam mulut Ghana yang mengumpat kasar dengan kata-kata tidak pantas.

“Oops, kamu ngomong apa sih, Ghan.” Andreas mengisyaratkan kepada Fani agar menjaga barang bawaannya karena dia akan mengantar Ghana pulang ke rumah. Seharusnya dia bisa saja pulang bersama supir yang mengantar. Mobilnya diparkir bahkan tidak jauh dari halaman rumah kami.

Heri hanya terdiam sambil memicingkan mata ke arahku. Dibandingkan aku, Miranti dan Fani lebih cekatan untuk menghampiri Heri, memeriksa keadaannya.

Miranti bahkan segera membawa Heri untuk masuk ke dalam rumah. Membelah para tetamu yang datang, melintasi wajah-wajah penuh tanda tanya masing-masing orang.

Ibu menghampiriku, memastikan keadaanku baik-baik saja. Namun entah mengapa tiba-tiba saja aku ingin menangis yang sangat keras. Menangisi keadaan kami berdua. Aku dan Heri. 

Mungkin seharusnya kuperjelas dulu duduk permasalahan kepada kedua orang tuaku bahwa telah terjadi hal-hal yang membuatku dan Ghana tidak bisa lagi bersama.

Kupeluk tubuh Ibuku dengan erat, “Ghana ….”
Ibu hanya mengangguk sambil membelai kepalaku. Ibu membawaku masuk ke dalam rumah melalui pintu lain agar tidak perlu melewati wajah-wajah penuh rasa haus akan informasi alias bersiap untuk bergosip tentang kejadian tadi.

Ternyata, dia dalam rumah, Heri sedang di interogasi oleh para tetua. Wajahnya nampak tegang namun tenang tanpa menyiratkan ketakutan sama sekali. Saat aku tiba, Heri tetap fokus menjelaskan duduk permasalahan yang sebenarnya terjadi.

“Nas … duduk sini, Nduk.” Seorang lelaki tua memintaku duduk di samping Heri, saat dirinya menjelaskan kronologi hubungan kami berdua.

“Benar, Heri nggak merebut kamu dari siapa-siapa? Bapak tidak mau, ada masalah di kemudian hari.” Bapaknya Heri nampak serius menanyakan kondisi hubungan kami berdua.

Heri sama sekali tidak menoleh ke arahku, namun sejujurnya aku bisa merasakan kepasrahan dirinya dengan jawabanku.

Hubungan kami memang sedikit sulit dijelaskan, seperti terjebak dalam keadaan meski pada akhirnya perasaan itu ada tanpa direncana.

Kamar KostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang