Bab 40

676 60 7
                                    


    Heri mengusap wajah sesaat setelah menunaikan ibadah sholat Subuh di mushalla rumah sakit. Wajah tampan yang terlihat letih itu menunduk, menatap nanar ke arah sajadah. Pertemuannya dengan Nela sungguh membuat hatinya cemas. Gadis itu terlihat frustasi dengan ulahnya sendiri.

"Astaghfirullah," lirihnya sambil mengusap sekali lagi wajahnya, kemudian mundur dan ketika berbalik ternyata di shaff wanita ada Nela yang menyapa.

"Mas, tunggu aku ya. Bentar aja."

Heri hanya mengangguk dan menunggu di luar mushalla. Beberapa jamaah laki-laki menghampiri sekedar untuk bersalam-salaman sebelum berpencar ke tujuan masing-masing. Disusul oleh Nela yang berjongkok mengepaskan sepatu di kakinya sambil sesekali mengulas senyum.

"Mas Heri nggak ngantor?" Nela setengah berjingkat agar pura-pura kehilangan keseimbangan dan Heri menahannya agar tidak terjatuh.

"Eh, ya ampun pelan-pelan, La."

"Takut kamu tinggal makanya buru-buru."

"Ya ampun kayak anak kecil aja sih, kamu mau balik jengukin Ghana atau?"

Nela melingkarkan tangan di lengan Heri dan bergelayut manja. Dia tidak peduli saat beberapa orang menatap aneh tingkah manjanya. Ayah Nasya yang baru keluar dari mushalla bahkan mengernyit saat Nela menyandarkan kepalanya kepada Heri.

"Sakit, Nel?" sapa Ayah Nasya pura-pura lugu.

"Eh, Pak." Heri terlihat gugup dan berusaha menepis tubuh Nela.

"Nasya sudah bisa dipindahkan ke ruang perawatan seharusnya, saya minta supaya pindah rumah sakit dekat rumah saja. Jadi nggak ribet."

"Padahal rumah sakit ini bagus," sahut Nela dengan nada penuh harap.

Tentu saja dia sangat senang jika Nasya dirawat di rumah sakit yang letaknya jauh dari kota, dengan begitu kesempatan untuk mendekati Heri terbuka lebar.

"Bagus buat Nela, kasihan Mas Heri-nya." Ayah Nasya tertawa sambil mengangkat sebelah alisnya ke arah Heri, sehingga Nela cepat-cepat melepas tautan tangannya.

Mereka bertiga kembali ke gedung rumah sakit beriringan meskipun wajah nela terlihat sangat kesal.

"Nasya," sergah Dokter Niko saat memeriksa kondisi Nasya, membuat gadis itu sedikit terhenyak.

"Iya, Dokter."

"Kenapa nggak dirawat di sini saja?"

Nasya berusaha untuk setengah duduk sambil meraba wajahnya. Dokter Niko mengambil ponsel di saku jas putihnya dan mengarahkan kamera ke wajah Nasya.

"Masih cantik kok," puji Dokter Niko saat Nasya memiringkan wajahnya ke kiri dan kanan sambil mencebik.

"Ah, Dokter mah bisa aja. Masa sih luka-luka begini dibilang cantik."

"Eh , jawab dulu. Kenapa nggak dirawat di sini saja? Kasihankan pacar kamu sendirian di ICU. Kalau dia sadar trus nyariin ceweknya gimana?"

Dokter Niko mengulum senyum sambil memeriksa obat-obatan di atas nakas satu persatu.

"Dia bukan pacar saya dan Dokter jangan sok tahu." Nasya menjawab dengan ketus namun justru membuat Dokter Niko semakin mengganggunya.

"Jadi, di hutan berduaan malam-malam itu ... ngapain dah?"

"Dokter, kami berdua adalah korban penculikan. Jadi please jangan nuduh yang nggak-nggak."

Heri dan Ayah tiba beberapa saat kemudian, menyela obrolan keduanya sehingga Dokter Niko harus segera menyingkir. Dokter Niko mengajak Ayah untuk berbicara mengenai mekanisme selama pemindahan Nasya menggunakan ambulan rumah sakit, sedangkan Heri nampak menatap mesra kekasihnya.

Kamar KostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang