Chapter 11

85 8 0
                                    

Jangan pernah menganggap seorang anak lemah. Dia akan menjadi buas ketika ibunya disakiti.
-Samuel Arsatya-

🌳🌳🌳

"Lah, apaan, nih, nembak cewek kayak gini? Di mana coba romantisnya?" Samuel kesal sendiri saat membaca bagian di mana salah satu tokoh dalam novel tersebut menyatakan perasaannya kepada gadis yang dicintainya. Menurut Samuel, caranya terlalu monoton.

Aldera berusaha menghiraukan. Terserah sahabatnya itu mau berpendapat seperti apa, Aldera tidak peduli.

"Harusnya, kan, momen menyatakan perasaan itu jadi momen yang istimewa agar dikenang selalu sampai tua." Cowok itu kembali berceloteh, kali ini sambil menggerak-gerakkan tangannya—seperti sedang berpidato. "Kalaupun nanti udah putus, bakalan susah move on kalau ingat momen itu."

Karena sudah lelah mendengarkan kritik tidak berfaedah dari Samuel terhadap salah satu koleksi novelnya, Aldera memilih untuk menyumpal telinga dengan earphone.

"Al, ada novel yang lebih romantis gak?" tanya Samuel, namun tidak mendapat jawaban dari Aldera. Cowok itu mendengus saat melihat Aldera sedang membaca novel sambil mendengarkan musik.

Kalau sudah begitu, Samuel tidak berani menganggu. Cowok itu meletakkan novel yang baru saja dibacanya ke atas nakas, lalu menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur.

Suara pintu yang terbuka membuat Samuel menoleh ke arah pintu, dan mendapati Richard tampak tersenyum ke arahnya.

"Om ...." Samuel mengubah posisinya menjadi duduk. Dia melirik Aldera yang tidak sadar dengan kedatangan ayahnya.

"Gak usah diganggu. Om perlu bicara sama kamu."

Samuel tampak berpikir sejenak, lantas mengangguk. Sepertinya Richard akan membahas sesuatu yang cukup serius sampai tidak ingin melibatkan Aldera.

Sebelum menghampiri Richard, Samuel menyempatkan diri untuk mengacak rambut Aldera sehingga membuat Aldera menatapnya horor.

Cowok itu hanya nyengir tidak jelas, lalu menjulurkan lidahnya.

Seperti biasa, saat melihat tingkah Samuel dan Aldera, Richard selalu tersenyum. Saat melihat mereka, Richard seolah dibawa kembali ke masa itu. Masa yang tidak akan Richard lupakan.

***

"Nih, Om udah buatin kopi buat nemenin kita ngobrol," kata Richard seraya menghidangkan segelas kopi di depan Samuel.

"Makasih, Om."

Richard duduk di samping Samuel sebelum meneguk kopi yang baru saja dibuatnya.

"Jadi, Om mau ngobrol tentang apa?"

"Sebaiknya kamu pulang ke rumah kamu. Kasihan Mama kamu sendirian menghadapi sikap Papa kamu. Kamu harus temenin Mama kamu."

Benar dugaan Samuel kalau Richard akan membahas masalah yang serius dengannya. Tapi jujur, Samuel tidak ingin membahas masalah ini. Dia sudah muak membahas masalah yang itu-itu saja selama ini.

"Aku udah minta Mama buat pisah sama Papa. Salah Mama sendiri mau bertahan." Sebenarnya Samuel tidak tega meninggalkan ibunya sendiri, meskipun jaraknya tidak jauh—hanya berseberangan. Dia melakukan ini agar ibunya bisa sadar dan segera mengambil keputusan untuk berpisah. Samuel sudah ikhlas keluarga mereka hancur. Toh, memang keluarganya sudah hancur dari dulu.

"Samuel ...."

Tok...tok...tok!

Keduanya kompak mengalihkan pandangan mereka ke arah pintu utama ketika mendengar suara ketukan.

Kisah SamuderaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang