ENTAH mengapa rasanya hari ini terasa sangat panjang, waktu berjalan tidak seperti biasanya, terkesan lambat. Semuanya menjadi kacau karena adanya hari ini. Aku tidak menyalahkan siapapun terutama Dirma, tidak, dia tidak bersalah atas Fajar yang kini belum memberikan kabarnya kepadaku.
Tidak masalah.
Aku yang salah telah menyetujui solusi dari Dirma yang pada akhirnya menemui jalan buntu. Fajar sama sekali tidak ada pergerakan sedikitpun untuk memberontak karena ulah yang kulakukan sore tadi.
Fajar benar-benar tidak online whatsapp semenjak terakhir kali aku membalas pesannya. Tentu saja dapat dilihat dengan jelas bahwa pesanku masih setia berada di centang satu. Fajar tidak membaca pesanku pun tidak peduli akan keadaan hatiku. Tidak sama sekali.
Bagaimana dengan Dirma? Jujur saja, disini aku merasa bersalah, sebab aku bercanda dengan Dirma akibatnya Maura membubarkan hubungannya setelah sepulang sekolah. Kata Dirma beberapa jam lalu, sebelum Maura menyatakan keputusannya, Maura meributkan sesuatu yang tidak masuk akal yang entah mengapa Dirma merasa Maura menyalahkan kesalahan yang pada dasarnya Dirma tak merasa melakukannya.
Kemudian aku bosan malam ini. Orang rumah sudah terlelap karena kelelahan mengerjakan aktivitas harian mereka. Saat ini sudah pukul 22.45. Aku tahu sekarang Fajar pasti sedang bermain mobile legend. Biasanya rutinitas tersebut berlangsung sampai pukul 2 pagi. Hatiku memerintah untuk mengirim pesan tapi otakku melarangnya. Maka, aku bingung harus bagaimana?
TING
Seperti tersengat listrik ribuan volt, jantungku bergetar kencang saat melihat pesan dari Fajar muncul diatas layar ponselku yang sedari tadi menganggur ditangan.
Fajar : Tidur
Langsung kubaca pesan darinya. Fajar tidak membahas perkara yang aku pusingkan sejak tadi. Kenapa?! Kenapa dia pelit sekali untuk sekedar perhatian kepadaku?! Benci! Benci!
Zella : Sayang
Aku menggigit bibirku kuat. Setidaknya itulah pelampiasanku malam ini, mengorbankan bibir tipisku yang kutahu besok akan bengkak.
Fajar : Tidur
Zella : Kamu kenapa sih heran
Fajar : Lah gue kenapa emang?
Zella : Kenapa nggak marah?
Fajar : Maksudnya?
Zella : Kamu nggak marah lihat aku boncengan sama Dirma?
Kubanting ponsel itu hingga terpental dari kasur. Wajah ini dipastikan sudah merah padam. Ingin sekali berteriak kemudian menangis sekeras mungkin tapi aku tidak bisa melakukannya.
TING
Suara notifikasi pesan masuk terdengar. Pasti itu balasan dari Fajar. Kuambil kembali dan langsung membaca pesan tersebut.
Fajar : Ngelawak lo La? Wkwk
Hah? Percayalah hatiku ini rasanya seperti dicabik-cabik.
Zella : Kamu anggap aku lagi bercanda??
Fajar : Iya lah
Zella : Bodoamat sumpah
Fajar : Dirma berhasil bikin lo jatuh cinta ya? Wkwk
DEG
Sabar. Aku harus sabar. Malam ini aku bertekad ingin bertengkar dengannya. Harus.
Zella : Pernah aku bilang sama kamu kalo aku jatuh cinta sama Dirma? Pernah?
Sial, air mataku sudah mengucur deras. Aku tidak sanggup untuk meneruskan obrolan sengit ini. Baiklah, sudah kumatikan ponsel biadab itu. Lagipula benar juga saat ini sudah malam, malam banget.
Aku tidak peduli dengan pesan Fajar. Yang terpenting sekarang itu tidur, caraku yang ampuh untuk menghilangkan banyak pikiran selain makan.
Selama menutup mata ini yang meskipun masih mengeluarkan air mata, aku bergumam bagaimana kalau beberapa hari ini aku jauhi saja Fajar? Bukankah ini yang diharapkannya? Baiklah.
Akan aku lakukan.
***
Ketika pagi kembali hadir, tepat pukul tujuh aku sudah duduk santai di bangku. Kelas sudah ramai oleh mulut-mulut penggosip. Aku tahu dari banyaknya manusia di kelas ini, ada yang sedang menggosip tentang aku dan Dirma setelah kejadian kemarin. Namun setelah kehadiran Dirma, Siska dan kawan-kawan bungkam.
Aku menatap kehadiran Dirma dimana wajahnya itu sedang dilanda kesedihan yang teramat dalam. Apakah ada hubungannya dengan Maura?
"Hai," sapaku kaku.
Dirma mengalihkan bola matanya ke arahku.
"Dih sok kenal,"
Otomatis kedua alisku bertaut bingung.
"Tahu nggak? Pagi ini wajah lo jelek banget."
Dirma sedikit terkejut. Ada satu cara yang mampu membuat fokus Dirma mudah teralihkan, dengan membuatnya kehilangan aura ketampanan yang selalu dia banggakan.
"Halah abab!"
Aku terkekeh pelan. Entah kenapa aku seberani ini menertawainya. Padahal seingatku aku tak pernah bisa melakukannya. Ada apa denganku?
"Eh, Zel?" Panggilnya, beberapa detik berikutnya Dirma melanjutkan ucapannya yang bernada ragu, "Hubungan lo masih baik-baik aja kan?"
Seketika raut wajahku langsung muram. Tampaknya Dirma merasa bersalah. Akibat solusinya malah menjadi senjata makan tuan, Dirma kehilangan Maura.
"Baik kok."
Bohong! Percayalah padaku kalau jawabanku ini tidaklah benar, aku mohon percayalah.
"Seperti yang lo tahu, gue kehilangan Maura." lanjutnya tanpa menatapku, dia sibuk memainkan ponselnya.
"Masalahnya yang diselesaikan bukan hubungannya, Dirma." balasku pelan.
Dirma menatapku lagi, kali ini tatapannya tidak bisa diartikan.
"Nggak usah mikirin itu, bukan urusan lo. Gue lebih rela kehilangan Maura daripada harus rela kehilangan lo, Zel. Ingat kata-kata gue waktu itu, gue lebih peduli hubungan lo sama Fajar. Ingat itu sampai kapanpun."
-<<FAJAR>>-
KAMU SEDANG MEMBACA
FAJAR [Tamat]
JugendliteraturTamat Ini kisahku dengan dia. Ini aku yang merasa asing namun diam-diam selalu dicintai. Ini kisahku dengan mereka. Ini aku yang mulai sadar bahwa aku hidup tidak sendirian. Ada mereka yang selalu berusaha menggapaiku meski aku selalu menghindarinya...