Tamat
Ini kisahku dengan dia. Ini aku yang merasa asing namun diam-diam selalu dicintai. Ini kisahku dengan mereka. Ini aku yang mulai sadar bahwa aku hidup tidak sendirian. Ada mereka yang selalu berusaha menggapaiku meski aku selalu menghindarinya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
RUMAH minimalis bernuansa eropa itu sudah kudatangi malam ini. Berkat menggunakan jasa ojek online aku bisa bertamu ke rumah Fajar. Sapaan hangat pun aku dapatkan dari Naya. Gadis kecil itu memeluk tubuhku erat seraya mencium pipiku. Manis sekali perlakuannya. Aku melirik Fajar yang hanya memasang wajah datar andalannya.
"Apa?" tanyanya setelah sadar aku sedang meliriknya, "Pengin di peluk cium juga?"
Naya langsung melepaskan pelukannya dan berdecak sebal kepada kakaknya, "Bang Fajar ke kamar sana ah! Naya mau main sama kak Zella dulu."
Aku tidak menyangka Fajar menuruti perintah Naya. Dia pergi begitu saja dengan langkah yang ringan memijak diatas ubin berwarna cokelat itu.
"Kok diusir sih?" tanyaku heran.
Naya mengedipkan sebelah matanya genit ke arahku. Tanpa menjawab pertanyaanku, dia menarikku ke dalam kamarnya dan tak lupa untuk menutup pintu.
"Eh, Nay?" aku bingung sendiri dengan tingkahnya itu.
Naya melompat ke arah tempat tidurnya dan tubuhnya sempat terpental. Tapi dia malah tertawa lucu menampilkan sederet gigi putihnya yang sangat menggemaskan.
"Tidur sama Naya, ya." pintanya manja.
Aku pun melangkahkan kakiku mendekatinya dan duduk ditepi kasur. Menyunggingkan senyuman termanis yang sangat jarang aku perlihatkan.
"Biasanya sama Ibu kamu kan?"
CEKLEK
Pertanyaanku belum sempat dijawab oleh Naya dikarenakan pintu kamar terbuka menampilkan sosok Fajar yang menatap ke arah kami dengan tatapan dingin.
"Naya dipanggil Ayah."
Naya memberengut menatap Fajar kesal. Gadis itu pun bangkit dan melangkah penuh emosi keluar dari kamar setelah mendorong kakaknya. Astaga, gadis itu nakal juga ternyata.
Fajar menggerakan kepalanya seperti menyuruhku untuk ikut dengannya. Pada akhirnya aku juga keluar dan tak lupa menutup pintu kamar kecil itu.
"Sebaiknya lo pulang aja, La."
Apa? Pulang katanya? Hei, belum ada sepuluh menit aku di rumahmu.
"Serius?"
"Ya." balasnya singkat tanpa memandang wajahku yang sudah tertekuk sebal. Aku yang menjadi pacarnya terkadang mudah terkena penyakit hipertensi, lalu bagaimana dengan Naya yang serumah dengannya? Jangan sampai terkena serangan jantung.
"Percuma kamu menyuruh aku kesini," tentu saja aku protes.
"Bukan gue tapi Naya. Berhubung dia udah pergi jadi lo nggak digunakan lagi."
Sumpah! Itu kalimat paling menyakitkan yang pernah ada yang aku dengar langsung dari mulut Fajar. Aku seperti dianggap barang yang tak terpakai oleh pemiliknya. Kurang ajar sekali perkataannya!
"Oke, aku pulang dan selamat malam!" sentakku kesal setengah mati. Sebenarnya apa salahku? Padahal aku sedang asik mengobrol bersama Naya dan baru ditopik tentang Ibunya. Apakah itu yang membuat Fajar mengusirku secepat ini?
"Hati-hati."
Aku tidak menggubris kata-katanya. Bukannya mengantarkan aku pulang malah dengan santainya menutup pintu rumahnya. Kejam!
Sial, aku harus pulang naik apa?! Baterai ponselku pun sudah habis otomatis aku tidak bisa memesan ojek online. Persetan dengan jalanan yang sepi, aku menarik rasa takut ini agar bisa pulang secepat yang aku bisa. Meskipun jaraknya lumayan jauh tapi tidak masalah.
Jalanan di sekitaran minim pencahayaan. Aku merinding merasakan hawa sejuk yang dibawa angin malam. Suara burung hantu mendengung di pendengaran. Menambah kesan menakutkan dan semakin mendebarkan detak jantungku.
Sedetik kemudian suara deru motor merubah suasana. Aku menoleh dan penglihatanku pun tersorot cahaya lampu yang berasal dari motor tersebut. Seseorang yang berada diatas jok motor membuka kaca helmnya.
"Dirma?"
"Zella?"
Kami berdua saling bersitatap terkejut bisa bertemu di tengah jalanan yang sepi melompong ini. Matanya menatap ke segala arah dan aku tidak tahu dia sedang mencari apa.
"Ngapain lo disini, Zel?"
"Ah," tidak mungkin aku jujur pada Dirma bahwa baru saja aku berpulang dari rumah Fajar, "Gue beli obat. Iya, beli obat tapi obat yang gue cari nggak ada." alasan apa ini? Bodoh sekali aku memilih alasan yang pastinya akan dijadikan pertanyaan berikutnya oleh Dirma.
"Buat siapa?"
Benar kan!
Kuputar otak cepat mencari jawaban yang tepat. Benar juga apa katanya, untuk siapa aku membeli obat? Tapi ditengah kebingungan yang melanda diriku, tatapanku jatuh pada luka lebam yang masih membekas di wajah Dirma. Itu dia!
"Buat lo."
Dirma menaikan sebelah alisnya. Dia menunjuk dirinya sendiri, "Kok gue?"
"Anggap aja sebagai permintaan maaf gue karena ninggalin lo di club dalam keadaan babak belur."
Dirma semakin mengerutkan dahinya, "Terus mana obatnya?"
Decakan sebal pun keluar dari mulutku. Jengkel rasanya terus-menerus menanggapi pertanyaan Dirma.
"Malam banget lho, Zel. Lihat ke atas, bulan udah sepenuhnya muncul. Seharusnya lo udah tidur sekarang. Eh, malah cari obat buat gue. Sebagai tanda terima kasih ya meskipun obatnya nggak ada wujudnya nggak masalah, yang penting lo gue anterin pulang sekarang."
Bolehkah aku jujur saja? Rasanya sangat bersalah jika harus berbohong padanya. Tapi disisi lain, aku cukup senang. Dirma tidak cuek lagi kepadaku. Tidak seperti saat di sekolah tadi. Seharian aku seperti tidak dianggap olehnya. Eh? Kenapa aku merasa kehilangan?
"Makasih." balasku seraya menaiki motornya dan duduk di jok belakang.
"Bilangnya nanti kalau udah sampai di rumah,"
"Iya."
Dan Dirma pun mulai melajukan motornya membelah jalan raya dibawah sang pekatnya malam. Beberapa helaian rambutku berterbangan ditiup angin kencang. Ini kedua kalinya aku berboncengan dengan Dirma saat malam hari. Ya, seperti apa yang pernah aku utarakan, Dirma mendekatiku disaat aku telah menjadi milik temannya. Aneh memang tapi aku rasa aku butuh jawaban atas pertanyaan yang masih mengganjal di hatiku.
Disisi lain aku melupakan sesuatu. Bukankah aku ingin menjauhi Dirma? Ya, aku sampai lupa dengan rencanaku itu. Tapi, saat ini entah kenapa aku tidak ingin membicarakannya kepada Dirma perihal hubunganku dengan Fajar sudah baik-baik saja. Hm, kurasa untuk sekarang tidak. Lebih tepatnya jarang baik-baik saja. Aku tertawa sedih dalam hatiku. Ironis sekali bukan nasibku ini?
Meski aku mengakui sepenuhnya hati ini menjadi milik Fajar, rasa kasihanku justru jatuh kepada Dirma. Setiap kali aku merasa sedang kacau, tanpa diminta pun ada Dirma yang selalu menolongku. Lalu, untuk apa Fajar berada di kehidupanku? Menambah beban pikiran, iya. Membuatku jatuh cinta, iya. Apakah aku harus membuang beban pikiranku kalau isinya adalah cinta? Hah.
"Tanpa lo minta, gue bisa menjauh dari lo sesuai dengan janji yang pernah gue ucapin."