AKU tidak langsung menjawab pertanyaan Ayah. Mengingat janjiku pada Ibu yang tidak memperbolehkan aku untuk memberi tahu Ayah soal kepergiannya sejak pagi tadi.
Pergi menemui Tante Andin. Aku tidak akan menyesal setelah memberitahukan kebenaran ini pada Ibuku. Karena memang sudah seharusnya Ibu tahu pengkhianatan Ayah.
Dan sekali lagi, Ibu harus melempar jauh-jauh anggapan Tante Andin sebagai saudaranya Ayah yang mana ternyata wanita simpanan yang kelewat murahan.
"Zella nggak tahu Ibu kemana. Udah ya, Zella mau belajar. Ayah boleh nanya apapun setelah dua hari kedepan. Zella udah bebas dan nggak terbebani sama mata pelajaran. Oke?"
Baru saja tanganku hendak menutup pintu, tapi dengan cepat Ayah menghalanginya.
"Kamu masih marah sama Ayah?"
Aku mendengus seraya bersedekap, "Perlu berapa kali Zella bilang, Ayah nggak pernah punya salah sama Zella. Terus buat apa Zella marah sama Ayah? Udahlah, Zella mau belajar." ujarku tanpa sekalipun melirik wajah Ayah. Terlalu malas. Aku sendiripun tidak tahu kenapa. Setiap kali melihat wajahnya, selalu terbayang wajah Tante Andin. Lalu teringat semua pengkhianatan mereka.
Cukup. Semua ini cukup untuk ada di masa lalu saja. Tak usah diungkit, tak usah diingat. Tidak penting, sama sekali.
Lagi-lagi aku batal memutar tubuhku ketika Ayah mencekal lenganku. Menatapku sendu, seolah-olah jiwa sebagai orang tua telah dibangkitkan setelah lama punah.
"Apa dengan mengembalikan Fajar padamu, Ayah akan mendapatkan maaf darimu?" tanyanya serius, penuh penekanan.
Dan akupun berani untuk membalas tatapannya, "Jangan memperalat dia! Nggak ada sangkut-pautnya sama masalah ini. Dan, Itu udah membuatku mengerti satu hal...." aku menjeda kalimatku sebentar hingga detik selanjutnya, mulutku kembali berucap, "Ayah memang nggak berniat untuk menganggap aku sebagai anakmu. Anak satu-satunya seorang Hasan Anurtika!"
Sesuai yang kuduga, Ayah membelalakan matanya terkejut dengan ucapanku. Lantas ia melepaskan cekalannya dan beralih untuk memasukan tangannya disaku celana.
"Kamu memang satu-satunya anak di keluarga ini Zella! Kenapa kamu seperti itu?"
Aku membuang wajahku. Membuang keresahan yang mendera didada lewat mulut yang menganga.
"Zella harap begitu. Selamat malam!"
Blam!
Pintu kututup dengan dorongan kuat. Tak perduli sikap ketidaksopananku pada Ayah. Yang penting amarahku sudah dilampiaskan. Secara tuntas dan puas.
Aku melemparkan tubuhku dikasur. Menenggelamkan wajah dibantal seraya bergumam, "Kenapa setelah kalian ingat aku, bukannya memberikan ketentraman, tapi malah kemaksiatan. Kenapa?!"
***
Hari ketiga ujian.
Aku keluar dari ruangan setelah berhasil menguap panjang tepat diambang pintu. Mataku mendelik ketika merasa ada sesuatu yang menutup mulutku rapat.
Segera aku menghempaskan telapak tangan kurang ajar itu. Memberikan tatapan galak pada si pemiliknya.
"Sejorok itukah lo, girl?"
"Bukan urusan lo, boy!"
Menyebalkan. Selalu menyebalkan saat mataku menangkap kehadiran Dirma setelah aku selesai ujian. Kini aku curiga, dia akan membawaku ke Fajar seperti kemarin. Tidak! Itu tidak boleh terjadi! Bahkan aku belum siap menahan malu untuk kejadian kemarin.
"Habis ini lo langsung pulang?" tanya Dirma setelah duduk disampingku yang masih sibuk memakai sepatu. Ya, aku dan dia sedang duduk dilantai dengan mengesampingkan lantai kotor yang menempel di seragam kami.
"Apa? Mau apa hah?" dan aku mulai mencurigai hal itu.
Dirma menaikkan sebelah alisnya dan menatapku geli, "Lo pikir gue mau ajak lo ke Fajar lagi? Salah besar, ya."
"Terus?"
Dirma tidak langsung menjawab. Dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Aku yang mulanya sibuk dengan sepatunya terpaksa menoleh untuk melihat wajahnya. Yang tertangkap oleh mataku, Dirma terlihat kalut.
"Jalan yuk!"
Aku terperangah. Tolong ulangi perkataan dia tadi. Dia mengajakku jalan? Benarkah?
"Eh, kok bisa?" tanyaku tanpa sadar. Aku tenggelam dalam berbagai pikiran. Yang selalu disangkut-pautkan dengan Maura. Dan aku kembali sadar sepenuhnya, "Nggak!"
Dirma menoleh. Senyuman manisnya terbit. Wajahnya yang terkena sinar matahari siang ini cukup membuat hatiku tidak tenang.
"Mungkin lo bakal nyesel kalau nolak ajakan gue hari ini."
Dan alisku semakin bertaut tidak mengerti apa yang dia ucapkan.
"Lo nggak bakal denger kata menyesal di mulut gue, Dir." balasku tertawa sumbang.
Aku bangkit setelah selesai memakai sepatu. Mulai melangkah menjauh dari Dirma. Tapi baru satu langkah, tanganku sudah berada digenggamannya. Sangat hangat dan.... nyaman?
"Anggap aja sebagai perpisahan pribadi."
Segera aku menghempaskan tangannya, "Apaan sih lo! Kayak mau pergi jauh aja!"
Entah kenapa aku tidak suka dengan ucapannya. Seolah-olah dia akan pergi dan takkan kembali.
"Eh, kenapa? Kok lo marah-marah? Bener, 'kan? Kita semua bakal ada perpisahan bentar lagi. Sensi banget lo sama gue!"
"Ya, nggak usah pakai acara pribadi-pribadian segala!"
"Nggak suka?" tanya Dirma yang sudah berdiri sambil berkacak pinggang.
"Iya!" balasku tak kalah galak darinya.
"Emang nggak bisa ya sehari aja nggak bertengkar. Zella, please lah." Dirma merubah ekspresinya menjadi memelas. Tangannya pun kembali mencekal tanganku dan menarik-nariknya.
Mendadak kami jadi pusat perhatian. Tatapan mereka masih sama. Tidak suka ketika melihat kebersamaanku dengan Dirma. Mungkin mereka berpikir, aku sedang berselingkuh. Tentu saja, mereka tidak tahu tentang berakhirnya hubunganku dengan Fajar. Hanya Kinan, Dirma saja yang tahu. Selebihnya mungkin akan tahu sendiri kalau ada yang membocorkannya.
Daripada terlalu lama menjadi perhatian orang, aku langsung menjawab, "Yaudah!"
-<<<FAJAR>>>-

KAMU SEDANG MEMBACA
FAJAR [Tamat]
Teen FictionTamat Ini kisahku dengan dia. Ini aku yang merasa asing namun diam-diam selalu dicintai. Ini kisahku dengan mereka. Ini aku yang mulai sadar bahwa aku hidup tidak sendirian. Ada mereka yang selalu berusaha menggapaiku meski aku selalu menghindarinya...