Hari ini aku sakit, di lengan, di kaki, di dahi, setelah pulang dari rumahmu. Sakit yang tidak terlalu sebelum Ayah menghajar Ibuku didalam kamar, kudengar suara pukulan yang bertubi-tubi. Raungan Ibu mencakar telinga. Aku tersudut diruangan yang gelap gulita, tak tahu harus melakukan apa agar raungan Ibuku meredam.
Sakitnya kian bertambah parah saat suara bantingan pintu yang amat kencang menggema diseluruh rumah. Aku terkejut dan segera berlari menyusul Ibu dan Ayah yang sedang bertengkar di ruang tamu, menggeret rambut Ibu ganas.
Ada banyak kata yang terucap dimulut mereka secara bergantian. Raut wajah yang memerah, penuh emosi hingga guratan kecil diwajah mereka timbul.
Aku hanya ingat tiga kata yang diucapkan oleh Ayah dengan bisikan mautnya.
"Kinan harus mati!"
Sebentar saja untukku mencerna apa maksud Ayah. Aku sungguh bingung, mengapa dia ingin aku mati? Bukankah aku anaknya yang selalu ia sayang?
Dan Ibu, aku ingat tiga kata pula yang diucapkannya.
"Kinan harus hidup!"
Sebenarnya apa yang mereka inginkan dari diriku yang sekecil ini?
Lalu tidak lama setelah itu, Ibuku mengangkat ponsel yang ia tempelkan ditelinga, membalas tatapan penuh murka pada Ayah. Seraya mengucapkan tiga kata lagi.
"Kinan sekarang meninggal."
Sungguh, aku tak bisa menghindari kejutan dijantungku. Sampai aku membekap mulutku rapat-rapat. Untuk apa Ibuku mengatakan suatu kebohongan pada seseorang didalam telponnya.
Baik aku, Ibu dan Ayah, semuanya terdiam saat melihatku tiba-tiba jatuh tengkurap tak berdaya diatas lantai dingin ini. Orang tuaku bergegas memberi pertolongan untukku. Dan itu adalah awal dari ketidaksadaranku, kalau saat ini.... aku sudah ada di Korea.
Tiga tahun setelahnya aku kembali ke Indonesia. Kami pulang ke rumah kami yang dulu. Tanpa mengabari saudara Ibuku yang bernama Om Hasan. Padahal aku rindu sekali dengannya dan juga putrinya yang bernama Zella. Tapi Ayahku melarang keras keinginanku bertemu dengan mereka. Alhasil yang kulalui selama mudaku hanya menyendiri hingga aku sudah duduk dibangku SMP.
Selama bersekolah aku tak punya teman. Tapi ada satu orang yang diam-diam memiliki simpati terhadap diriku yang selalu menyendiri. Fajar, namanya. Dia tampan sekali, kalau kujabarkan tentang dirinya maka dapat dipastikan aku akan jatuh cinta padanya.
Sungguh, aku benar-benar tidak percaya dengan keputusan Ayah, ingin menjodohkanku dengan seorang laki-laki yang tak lain tak bukan adalah Fajar. Dia! Oh, astaga! Aku tidak percaya!
Kedatangan dia dalam hidupku sedikit mengobati kerinduanku pada sahabat kecilku, Zella. Entah mengapa setiap aku melihat Fajar, selalu wajah Zella yang terbayang.
Dia Zella, sahabatku. Ya! Aku memperkenalkan Zella pada Fajar. Tak tahan rasanya untuk tak berbagi kerinduan yang teramat sangat ini. Kalau saja ada secuil harapan untukku bertemu dengannya, maka sudah sedari dulu aku berjumpa dengannya sejak pulang dari Korea.
Melihat foto Zella diponselku, Fajar bertanya siapa namanya. Aku hanya diam tak sanggup menjawabnya. Laki-laki itu tidak bertanya lagi selain senyuman yang untuk pertama kalinya aku lihat setelah melihat foto manis Zella. Aku terkagum-kagum menatapnya. Saat itu juga kesedihanku perlahan menghilang. Aku mulai menerima keadaan kalau diriku sudah kehilangan sahabat kecilku yang suka menangis itu.
Hingga saat aku masuk SMA dan sudah ada ditingkatan kelas dua belas, aku hampir mati karena terkejut. Dia Zella, sahabatku, ada dikelas yang sama denganku! Astaga! Aku sangat bahagia!
Tapi kutak bisa mendekatinya saat salah satu laki-laki dikelasku yang bernama Dirma sedang berbicara bersama Fajar. Aku bisa sedikit mendengar obrolan mereka. Ada tiga kata yang dapat kucerna apa maksudnya.
"Gue suka Zella."
Tiga kata itu diucapkan oleh Fajar. Ditempatku berdiri, tubuhku membeku. Kaku bagai patung. Keras bagai batu. Laki-laki yang kucintai menyukai sahabat kecilku sendiri.
Apakah aku boleh menangis? Tidak. Aku bisa menahannya. Sekarang aku melangkah pergi meninggalkan semuanya yang kuharapkan hanya kekosongan yang abadi. Hingga kabar jalinan asmara antara Zella dan Fajar sampai ke telinga demi telinga. Tetap saja, aku masih diam. Ingin membenci sahabat kecilku tapi tak mampu.
Lalu saat kulihat Zella sedang dibuli oleh salah seorang perempuan di kelas, aku mulai berani untuk mendekatinya, mengajaknya untuk kembali ke masa yang pernah kami lalui bersama. Awalnya dia menolak keras cara yang kucoba untuk mengingatkannya siapa diriku dimasa lalunya.
Dia Zella, sahabatku, mulai percaya saat kuperlihatkan kalung yang melingkar manis dileher ini. Itu adalah awal dari kemarahannya yang kusangka sebagai bentuk kerinduan yang teramat sangat perih dihatinya. Aku terima semua perilaku kasar dirinya padaku. Karena memang masa itu adalah masa yang paling menyedihkan untuk kami berdua.
Aku bahagia akhirnya kami bisa berteman lagi, menjalin hubungan semacam saudara yang sempat terputus oleh waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAJAR [Tamat]
Ficção AdolescenteTamat Ini kisahku dengan dia. Ini aku yang merasa asing namun diam-diam selalu dicintai. Ini kisahku dengan mereka. Ini aku yang mulai sadar bahwa aku hidup tidak sendirian. Ada mereka yang selalu berusaha menggapaiku meski aku selalu menghindarinya...