BAGIAN DUA PULUH SEMBILAN

33 3 0
                                    

RUANGAN serba  buku ini membuatku sedikit tenang. Sangat senyap dan sepi, hanya ditinggali oleh Bu Tuti selaku penjaga perpus. Setelah aku dan Kinan masuk, Bu Tuti memberikan kami buku absen untuk ditanda tangani.

"Kinan mau ambil bukunya, ya?" ujar Bu Tuti ramah sedangkan yang diajak bicara hanya tersenyum seraya menggelengkan kepalanya.

"Belum waktunya, Bu. Mungkin selesai ujian saya akan ambil."

Aku mengernyit memperhatikan mereka berdua. Buku apa yang dimaksud? Buku cetak? Jadi, Kinan sering datang ke perpus rupanya. Aku lupa tentang siapa Kinan. Dia itu siswi pintar. Bukan Kinan namanya kalau tidak bertapa terus di ruangan serba buku tersebut.

Aku? Aku hanya menjadikan ruangan itu untuk keperluan tubuhku agar bisa menghindari keramaian. Bukan tidur, hanya sekedar duduk dalam diam seraya melamun selama yang aku mau. Mungkin para penunggu ruangan ini sudah akrab denganku maka dari itu mereka enggan merasukiku ketika aku sedang melamun.

Bu Tuti mengalihkan tatapannya padaku, "Terus kamu juga mau belajar?"

Entah kenapa pertanyaan Bu Tuti malah membuatku tersinggung. Sepertinya dia tahu semua kegiatanku disini. Pantas saja dia merasa ada perbedaan dalam diriku.

"Nambah ilmu."

Terdengar kekehan dari Kinan, "Nggak usah nambah ilmu. Lo udah berbakat dalam segala hal, kok."

Aku meringis menanggapi ucapannya. Berbakat dalam segala hal apa yang dia tahu? Aku hanya bisa membuat orang lain kecewa dan tak pernah bahagia. Misalnya Fajar, apa dia pernah bahagia saat bersamaku? Tidak. Juga orang tuaku, apa mereka juga bahagia memiliku? Tidak. Aku hanyalah manusia yang belum ditakdirkan untuk mendapat kesempurnaan yang bisa menyempurnakan orang lain.

Selesai berbincang dengan Bu Tuti, Kinan mengajakku untuk mengambil buku cetak. Aku hanya mengikutinya saja. Ketika dia berhenti di satu rak buku aku juga berhenti. Ketika dia jongkok aku juga ikut jongkok. Entahlah rasanya aku malas untuk melakukan hal lain selain mengikuti semua gerak-gerik Kinan.

"Lo ngapain, sih, Zel? Ngikutin gue mulu. Cari buku yang mau sana malah kayak gitu."

Aku tersenyum kikuk. Hari ini rasanya aneh sekali. Mungkin ini efek setelah bertemu dengan Fajar. Tingkah konyolku muncul. Biasanya kekonyolanku muncul hanya saat bersama Dirma saja. Kini sudah berubah. Kinan hampir mendapatkan setengah dari hatiku. Rasa ingin berteman mendadak muncul begitu saja.

"Males jauh-jauhan sama lo."

Kinan mengernyit heran. Aku juga terkejut dengan ucapanku sendiri. Ada apa ini? Kenapa aku malah bersikap seperti ini padanya? Fajar benar-benar menjadi obat disetiap hari burukku.

"Bolehlah." balasnya singkat seraya tersenyum simpul, "Lo udah nerima gue, ya? Makasih kalau gitu."

"Rasanya kok kayak lagi pacaran, sih?" aku menggaruk kepalaku yang tak gatal.

Kinan terbahak menatap sikapku yang kelewat aneh, "Pacaran aja sana sama Fajar, kenapa sama gue?" dia masih melanjutkan tawanya sambil menggelengkan kepalanya berkali-kali.

Bukannya ikut tertawa, aku malah kembali sedih. Benar juga apa katanya. Tapi, bisakah aku kembali menjadi pacarnya lagi? Aku ingin bersikap manis lagi kepadanya seperti yang sudah-sudah.

"Kenapa jadi sedih, Zel? Ucapan gue nggak salah, 'kan?" salah satu tangan Kinan menyentuh bahuku seraya menatapku penasaran.

"Nggak ada yang salah, semuanya benar. Dan kebenaran itu malah menyakitkan. Gue rasa itu udah cukup." tatapanku jatuh ke bawah, menatap ubin yang terlihat begitu mengkilap dibawah kakiku. Tak terasa air mata jatuh dan mengenai ubin tersebut.

FAJAR [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang