BAGIAN EMPAT PULUH SATU

16 3 0
                                    

DIRMA mengambil motornya di parkiran dan menjemputku yang menunggunya di gerbang sekolah. Sedari tadi aku mencari-cari keberadaan Fajar. Sekedar melepas rindu walau pada akhirnya aku malu kalau berhadapan dengannya.

Sialnya aku tidak berhasil menemukannya. Selalu seperti itu. Fajar memang jelmaan iblis. Menghilang tanpa bisa diprediksi keberadaannya.

Motor Dirma sudah ada didepanku. Sebentar aku menatap cowok itu.

"Ayo, naik!"

"F-fajar gimana?"

"Ooh..." seakan mengerti maksudku, dia menjelaskan kalau, "Gue udah izin sama dia bawa lo pergi hari ini. Dibolehin sama Fajar, kok. Nggak usah khawatir!"

Aku mendengus sebal. Pantas saja Fajar tidak terlihat dimanapun. Cowok itu pasti bersembunyi, karena dia mengerti bagaimana keadaanku setelah kejadian kemarin.

Lantas aku mulai menaiki motornya, duduk dijok belakang. Sedetik kemudian motornya sudah melaju di jalan raya. Entah akan dibawa pergi kemana, aku hanya diam dan menurut saja.

Sekitar setengah jam, kami sampai. Ternyata dia membawaku ke pantai. Apa?! Ke pantai di siang hari sepanas ini?!

"Pantai?" tanyaku heran.

Dirma yang baru saja melepas helmnya memandangku geli, "Jalan-jalan dipasir, bukan jalan-jalan di pantai. Kalau di pantai yang ada nanti lo tenggelam. Mau tenggelam lo?" dengan santainya dia tertawa terbahak-bahak didepanku. Itu membuatku semakin kesal dan tanganku sudah melayang untuk memukul lengannya.

Seperti biasanya, Dirma tidak mengeluh ketika mendapat pukulan dariku. Entah terbuat dari apa dirinya itu sampai tidak mengaduh kesakitan.

"Gue bisa berenang! Nggak usah sok khawatir sama gue!"

"Masa sih? Diajarin sama Fajar ya?" godanya sambil menoel-noel pipiku.

Lagi-lagi aku menghempaskan tangannya yang selalu gatal untuk tidak menyentuhku.

"Gue belajar sendiri!" tapi tiba-tiba aku tersentak, "Fajar bisa berenang?"

Dirma mengangguk, "Gue yang nggak bisa berenang." lagi, Dirma tertawa terbahak-bahak dan membuat wajahnya merah.

"Lo ngetawain apa, sih, Dir? Takut gue." tentu saja aku sempat bergidik melihatnya tertawa lepas seperti itu. Padahal menurutku tidak ada yang lucu.

"Mumpung bisa ketawa aelah." dia menyeka air mata yang membasahi tepi matanya. "Ayok mulai jalan-jalannya." kini dia menarik tanganku.

Sudah kubilang, kan? Dirma itu selalu menarikku tanpa persetujuan dariku. Seenaknya sendiri. Anehnya aku hanya bisa menurut saja.

Kupikir tidak ada salahnya kami bisa berduaan. Tapi tetap saja rasanya tidak bisa bebas, sebebas aku saat bersama Fajar.

Pikiranku melayang ke Maura. Bagaimana kalau....

"Berhenti mikirin Maura. Dia nggak ada diantara kita sekarang."

Seolah-olah tahu isi pikiranku, Dirma mengatakannya dengan setenang mungkin. Memang aku yang salah tidak bisa menjaga jarak dengan Dirma. Padahal Maura sudah memberi peringatan kepadaku.

Kurasa aku sulit berjauhan dengan Dirma. Membayangkan akan sehampa apa diriku tanpanya. Dirma, selalu ada disetiap sepiku, senyapku. Memberikan tangannya untuk menggenggam tanganku ketika aku hampir kalah dengan dunia.

Karena kehadiran Dirma untuk dua tahun itu membuatku lupa tentang siapa Kinan dimasa lalu.

Aku segera sadar dimana aku berada. Masih di pantai. Bersama cowok yang aku impikan kelak menjadi satu-satunya orang yang kucintai. Dan ternyata semesta tidak mengizinkannya. Semesta malah mendatangkan Fajar untukku.

Perlahan-lahan waktupun membinasakan cintaku untuk Dirma.

Perlahan-lahan pula waktu telah membangkitkan semangat hidupku karena Fajar. Fajar yang sedingin itu memaksaku untuk menjelajahi seisi dunia ini, untuk mencari satu jawaban dari pertanyaanku.

Apakah dia yang akan menjadi cinta terakhir dalam hidupku?

"Zella,"

Lamunanku buyar mendengar namaku disebut. Aku menoleh mendapati Dirma yang sudah duduk diatas pasir putih yang kami injak ini.

"Sini duduk. Ada yang mau gue omongin." dia menepuk pasir disampingnya menyuruhku duduk disana. Aku menurut saja.

"Apa?" kataku sambil memeluk kedua lutut.

Kami berdua menatap deburan ombak didepan sana. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Apakah Dirma mendengar ucapanku?

Lalu deheman darinya mengagetkanku.

"Lo orangnya pendendam nggak?"

Mataku menyipit, bukan karena mendengar ucapannya melainkan sinar terik matahari terlalu menyengat di mataku.

Aku hendak membalas tapi Dirma kembali melanjutkan ucapannya. "Gue takut lo ada dendam sama gue, Zel."

Entah kenapa aku merasa didalam kalimat Dirma tersirat candaan. Aku sempat terkekeh membuat Dirma mendecak tak suka.

"Serius!"

Aku menghirup udara sebanyak-banyaknya. Berusaha menetralkan detakan jantungku yang berpacu cepat. Sedari dulu aku tidak suka kalau Dirma bersikap seserius ini. Pasti ada yang tidak beres dengannya.

"Ngapain dendam kalau ada tangan yang siap baku hantam?"

Dirma menoleh seraya mendengus, "Tipikal cewek keras lo, girl."

"Gue apa adanya kok, boy."

Dirma mengalungkan sebelah tangannya dibahuku.

"Ternyata Fajar nggak salah pilih cewek. Gue bisa tenang sekarang. Hadeh."

Mendengar nama Fajar membuatku teringat sesuatu.

"Dir,"

"Ei?"

"Emang bener ya Fajar tuh suka sama gue semenjak tiga tahun?"

Dirma terkesiap. Tubuhnya menegang. Seperti maling yang tertangkap basah. Ekspresinya menjadi gelisah.

"Lo mau gue jujur?"

"Yang bener ah!"

"Jujur apa bener?"

"Dirma!"

"Oke oke!"

Sekali lagi aku memukul lengannya. Tidak peduli akan sebengkak apa lengannya. Lagi pula dia tidak terlihat kesakitan. Seperti biasanya.

"Sebelum gue jujur, gue mau tanya sama lo." kini Dirma sepenuhnya menghadap ke arahku. Menatapku dalam. Mencari sesuatu yang ada di mataku. Sebuah fakta. "Apa lo nggak inget kalau Fajar pernah bikin lo pingsan?"

-<<<FAJAR>>>-

Yeay apdet dabel!!!!🙉

Iyalah karna aku kayaknya bakal lama apdetnya jd kudabelkan sekarang wkwk:v

Selamat membaca

Salam, Sankhaa

FAJAR [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang