SEBISA mungkin aku menahan diri untuk tidak tersulut emosi. Apalagi sekarang aku ada di rumah orang. Tidak baik kalau tamu membuat rusuh. Lantas aku hanya bisa bersikap layaknya baru bertemu dengan Tante Andin. Mungkin dia melupakan wajahku. Wajah dari anak yang menderita akibat kelakuan bejatnya sebagai pengrusak hubungan orang tuaku.
Setidaknya hanya Tante Andin yang aku benci bukan Kinan. Entahlah rasanya sangat sulit untuk membenci orang yang menganggap keberadaanku disaat semuanya melupakanku. Hanya Kinan yang mau melakukan itu untukku. Bagaimana bisa aku membencinya?
"Oh, kamu yang pernah kesini, 'kan?"
"Tante masih ingat saya? Kalau gitu saya minta maaf waktu itu saya langsung pulang tanpa pamit sama, Tante." aku tersenyum canggung karena bingung harus bersikap seperti apa pada orang yang telah membuat orang tuaku selalu bertengkar.
Tante Andin duduk disampingku seraya menepuk bahuku sekali, "Nggak papa, yang penting kamu mau kesini lagi. Iya, 'kan?" balasnya sembari mengulas senyuman manisnya.
Kuakui wajah Tante Andin cantik. Dan sekali lagi, kuakui Ibuku kalah dengan kecantikannya. Apa itu yang membuat Ayahku berpaling padanya? Tapi yang menjadi pertanyaanku, apakah Kinan tahu kelakuan bejat Ibunya itu?
"Ibu udah pulang?" tiba-tiba Kinan datang dengan nampan berisi segelas tes dan meletakannya di meja, "Kemana aja, sih, ngilang mulu."
"Ada urusan sama temen tadi. Kamu anak kecil nggak boleh kepo urusan orang tua." balas Tante Andin bernada gurau sambil menyentil hidung Kinan. Kinan pun tersenyum geli.
Sadar akan keberadaanku, Kinan segera mengalihkan perhatiaannya padaku, "Itu tehnya diminum, Zel."
Aku mengangguk dan mulai menyeruput teh hangat buatan Kinan. Rasa manisnya pas, sama persis dengan buatan Ibuku. Ya, dulu mereka memang sering memasak bersama. Kinan diajari membuat teh hangat, membuat telur goreng meskipun berakhir gosong. Seharusnya aku mendapatkan itu dari Ibuku. Sudahlah, itu semua hanya masa lalu yang pahit. Aku tidak mau mengingatnya lagi.
"Bu, Kinan ijin pake kamar tamu, ya, buat Zella. Dia mau nginep disini."
Tante Andin terkejut tapi dia segera merubah ekspresinya menjadi senang, "Benarkah? Ibu seneng banget loh kalau dia mau menginap. Kinan jadi nggak kesepian lagi."
Disini aku hanya bisa tersenyum dan terus tersenyum. Lagipula aku harus apalagi selain tersenyum? Apa aku harus banyak bicara pada mereka? Kurasa tidak perlu, percuma.
Kemudian Kinan mengajakku menuju kamar tamu. Setelah sampai, aku sungguh takjub akan ruangannya yang cukup luas. Kinan memang berasal dari keluarga terpandang maka tak heran kalau rumahnya juga terpandang.
"Yaudah lo istirahat dulu, ya. Semoga lo nyaman disini, Zel."
"Makasih atas semua kebaikan lo, Nan." balasku sambil tersenyum tipis.
Lantas Kinan pergi dari hadapanku sedangkan aku langsung berbaring. Menutup mataku perlahan. Tiba-tiba ponselku berdering singkat. Segera aku merogoh ponselku yang tersimpan disaku celana jeansku.
Fajar : Lupa lo sama gue?
Alisku bertaut membaca pesan darinya. Kenapa dia menghubungiku lagi? Padahal sudah jelas dia yang meninggalkan tapi bersikap seperti memberikan harapan. Mau apa dia?
Zella : Nanya sama siapa?
Tak butuh waktu lama, pesanku langsung dibalas.
Fajar : Tadi pagi gue bilang apa sama lo?
Zella : Bilang apa emang?
Fajar : Jadi kita chatingan isinya cuma tanya² doang nggak ada jawabannya?

KAMU SEDANG MEMBACA
FAJAR [Tamat]
Dla nastolatkówTamat Ini kisahku dengan dia. Ini aku yang merasa asing namun diam-diam selalu dicintai. Ini kisahku dengan mereka. Ini aku yang mulai sadar bahwa aku hidup tidak sendirian. Ada mereka yang selalu berusaha menggapaiku meski aku selalu menghindarinya...