BETAPA leganya diriku saat sampai di rumah dengan selamat. Jujur saja tadi jantungku berdebar kencang ketika berhadapan langsung dengan Ibunya Fajar. Mimpi apa aku semalam sampai harus bernasip seperti ini.
Lantas aku turun dari motor dan berjalan memasuki rumah. Belum sampai pintu, tiba-tiba kepalaku pusing luar biasa. Pandanganku berputar-putar bagai gasing. Aku berteriak hingga membuat sosok Ibuku datang menghampiriku dengan tergesa-gesa.
"Kamu kenapa?" tanyanya khawatir. Perlahan dia membawaku ke sofa dan menidurkanku. Kedua kakiku diluruskan kemudian Ibuku menempelkan telapaknya didahiku, "Panas banget kamu, Zel."
"Pusing banget, Bu." tanganku terus menekan kepalaku kuat karena tidak tahan oleh rasa pusing ini.
"Ayo ke rumah sakit aja daripada tambah parah," tawarnya dengan nada panik.
"Zella ke rumah sakit pun juga tetep aja nambah parah, nambah parah keuangan keluarga."
Meskipun saat ini aku sedang memejamkan mata tapi aku tahu baru saja Ibu tersentak oleh ucapanku yang mana itu adalah sebuah kenyataan.
Kurasa aku pusing biasa jadi tak perlu sampai dirawat di rumah sakit. Mungkin ini efek karena aku terlalu banyak pikiran, terlalu banyak menguras tenaga untuk menangis dan terlalu banyak melukai perasaan diri sendiri.
"Aku ke kamar dulu dan jangan ganggu aku dulu ya." aku menghempaskan tangannya didahiku dan berjalan tergopoh-gopoh menuju kamar. Menutup pintu dan menjatuhkan tubuh ini diatas pulau kapuk yang empuk.
Tubuhku terlentang begitu tenang. Hingga saat aku membuka mataku, pandanganku menghadap atap kamar. Ingatanku kembali pada saat aku bertemu dengan Tante Elis. Yang membuatku bertanya-tanya adalah untuk apa dia berjalan sendirian ditepi jalan tadi? Apa dia baru keluar dari rumah sakit? Tapi siapa yang sakit?
"Terkadang hidup itu membingungkan. Disaat gue kehilangan pacar, teman pun datang. Tapi kalau gue kehilangan teman, pacar pun nggak akan peduli." aku mendengus mengingat semua hal yang berhubungan dengan Fajar. Hatiku masih sakit dan aku tidak tahu kapan waktu akan menyembuhkannya.
"Bahkan sekarang gue semakin percaya kalau Kinan itu memang teman kecil gue. Lain kali gue harus tanya kenapa dulu Tante Andin bilang dia dikabarkan meninggal."
***
Sepulang sekolah hingga sore kuhabiskan untuk tidur. Alhasil sekarang aku kelaparan. Begitu keluar dari kamar, aku segera mencari makanan yang mungkin masih ada. Kuharap Ibu tidak lupa untuk menyisakan makanan untukku.
Aku tersenyum lebar kala melihat nasi goreng di wajan. Kurasa Ibu baru selesai memasak. Tapi dimana beliau?
Tanpa banyak berpikir panjang lagi, aku segera mengambil piring dan sendok kemudian memindahkan beberapa cendok nasi ke piringku.
"Zella,"
Aku tersentak oleh suara itu. Mendadak tubuhku diselimuti hawa sejuk. Ayah berjalan mendekatiku dan menatapku. Aku bisa melihat dirinya dari tepi mataku.
"Maafin Ayah sudah membuatmu jadi seperti ini. Ayah gagal menjadi Ayah yang baik buat kamu, Zel. Yang nggak pernah ngasih kasih sayang untukmu, yang nggak pernah ada saat kamu butuh. Ayah benar-benar merasa bersalah."
Mataku memanas mendengar semua kata-kata yang diucapkannya. Semuanya terdengar palsu ditelingaku. Kenapa Ayah baru sadar saat aku sudah remaja? Dimana selama ini kesadarannya? Padahal aku selalu muncul didepannya tapi seolah-olah aku hanya angin lalu.
Nafsu makanku hilang. Kuletakan piringku diatas meja dan membalas tatapan Ayah dengan tatapan nanar.
"Terima kasih." kuberi senyuman terbaikku. Baru saja aku ingin melangkahkan kakiku pergi tapi dengan cepat tanganku dicekal kuat oleh Ayah.
"Sebenci itukah kamu sama Ayah?"
"Aku nggak benci!"
"Tapi kenapa kamu menghindari Ayah?"
"Aku nggak menghindari!"
Ayah memindahkan cekalannya ke bahuku. Menghadapkanku pada wajahnya yang menahan kesedihan yang begitu dalam.
"Kamu mau memaafkan segala kesalahan Ayah, Zella?"
Saat itu juga aku menangis sesenggukan, "Ayah nggak pernah salah kenapa minta maaf sama Zella?! Aku nggak pernah membencimu Ayah! Aku nggak pernah menghindarimu! Nggak sama sekali! Yang ada malah Ayah yang melakukan semua itu sama aku! Aku tahu selama ini aku hanya dianggap mainan sama Ayah, 'kan?!"
Mendengar teriakanku membuat Ibu datang dan bertanya-tanya pada Ayah.
"Ada apa ini? Kamu apakan anakku?!" Ibu memelukku agar aku bisa tenang tapi malah sebaliknya, aku semakin menangis keras. Padahal aku hanya ingin makan tapi kenapa Ayah merusak nafsuku?!
"Aku ingin menjadi Ayah yang baik untuknya, Dewi. Selama ini aku hanya fokus sama kehidupanku sendiri sampai kebahagiaan anak nggak keurus. Aku mohon sama kamu, Dewi, ijinin aku buat menebus segala kesalahanku sama kalian berdua."
Andai semua kata-kata itu diucapkan belasan tahun lalu maka aku tidak akan menjadi remaja yang depresi. Aku bisa menjadi remaja ceria dengan penuh semangat kehidupan. Dan semenjak Ayah kehilangan Kinan, hidupnya menjadi serba kejam. Denganku saja dia tidak pernah bersikap lembut.
"Sepertinya bercerai adalah keputusan yang tepat, Mas. Aku nggak mau Zella terus tertekan sama sikapmu yang terlalu dingin itu."
Dengan segera aku melepas pelukan Ibu, "EGOIS!" teriakku menatap tajam mereka bergantian, "KALIAN BERDUA MEMANG ORANG TUA PALING EGOIS!!"
Tanpa berpikir panjang lagi, aku langsung pergi keluar rumah dan membawa motorku kemudian melaju dengan kecepatan penuh. Diperjalanan aku terus menangis sampai aku kehilangan keseimbangan dan akhirnya aku jatuh terpental ke tepi jalan.
Aku melepas helm dan membuangnya sembarangan. Untungnya bukan jalan raya jadi aku selamat dari kendaraan besar. Menatap nanar motorku dengan ban yang masih berputar-putar.
"MUAK!!"
Hingga sorot cahaya dari sebuah mobil menyilaukan mata dan menyadarkanku.
"Zella?"
-<<<FAJAR>>>-
Hallo para pembaca setia cerita gaje ini??? Gimana msh betah ga?:( aku berusaha betah²in buat apdet y mskipun kadang diserang penyakit males hehe😅
Gpp lah yg pnting kalian msh mau membaca itu udh bagus kk💕
Salam, Sankhaa

KAMU SEDANG MEMBACA
FAJAR [Tamat]
Teen FictionTamat Ini kisahku dengan dia. Ini aku yang merasa asing namun diam-diam selalu dicintai. Ini kisahku dengan mereka. Ini aku yang mulai sadar bahwa aku hidup tidak sendirian. Ada mereka yang selalu berusaha menggapaiku meski aku selalu menghindarinya...