BAGIAN TIGA PULUH

35 3 0
                                    

TAKUT. Satu kata yang tepat untukku saat ini. Pertanyaan Kinan membuatku takut untuk kembali menangis lagi. Aku ingin menguatkan hatiku sekuat baja agar suatu saat nanti jika aku harus kembali bertemu dengan Fajar maka tidak akan ada kesedihan lagi melainkan kekuatan untuk bersabar.

Aku hanya diam tanpa menjawab pertanyaannya sampai terdengar bel tanda sesi kedua. Dengan melupakan topik pembicaraan, kami berdua pun melanjutkan perjalanan menuju ruangan ujian.

Hawa sejuk menerpa wajahku saat tubuhku benar-benar sudah memasuki ruangan. Terdapat belasan komputer yang tertata  rapi diatas meja kecil. Aku segera mencari nomor absenku di meja tersebut. Saat sudah kutemukan, tanpa banyak berpikir panjang lagi langsung kutempati saja. Jantungku berdebar kencang mengingat saat ini juga aku akan melaksanakan ujian kelulusan.

Semoga berhasil.

Aku memejamkan mataku sejenak sambil menggumamkan dua kata mujarab tersebut. Hingga saat aku membuka mataku, pandanganku jatuh pada secarik kertas yang terselip dibawah keyboard. Penasaran menyerangku dan setelahnya aku terpaksa mengambil kertas itu.

Semoga berhasil.

"Tulisan siapa ini?"

***

Sekian lama berkutat didepan komputer pada akhirnya selesai juga. Ketika sudah berada diluar ruangan, aku merenggangkan tubuhku yang terasa sedikit kaku.

"Gimana? Lancar nggak?" tiba-tiba Kinan mendekatiku seraya memakai sepatunya yang baru diambil di rak.

"Lumayan," balasku singkat. Wajahku datar, rasanya hari ini aku tidak banyak berekspresi.

"Lumayan apanya?" Kinan masih melanjutkan pertanyaannya. Kurasa dia masih ingin berlama-lama denganku. Karena aku sudah menerima dia sebagai temanku maka tidak heran jika dia mulai cerewet kepadaku.

"Ya, gitu, lancar." balasku sambil menganggukan kepala beberapa kali agar terlihat meyakinkan di mata Kinan.

"Okelah gue percaya," setelah selesai memakai sepatunya, dia menatapku intens, "Lo pulang sama siapa?"

Aku mengernyit. Bukankah dia tahu kalau hari ini aku berangkat menggunakan motor?

"Motor."

"Emang lo bawa motor, Zel?"

"Tiap hari gue bawa masa lo nggak tahu."

"Lupa kali lo, hari ini tuh lo nggak bawa motor."

"Lah?" aku semakin mencuramkan alisku menanggapi ucapan Kinan yang tidak masuk akal. Sudah jelas tadi pagi aku berangkat membawa motor dan dia tahu itu.

"Kalau nggak percaya, kita ke parkiran sekarang."

Aku semakin bingung dengan sikapnya yang aneh itu. Mau tidak mau akhirnya kuikuti saja dia pergi ke parkiran. Ketika sampai betapa terkejutnya aku saat motorku hilang tak berbekas ditempatnya semula.

Panik menyerbuku. Jika Ayah tahu motor pemberiannya hilang maka akan celaka. Apalagi motor itu masih kreditan.

"Jangan bercanda, Nan! Gue nggak suka, ya, kalau lo—"

"Gue serius pengin lo pulang sama Fajar."

"Apa?"

Sedetik kemudian terdengar bunyi klakson dibelakangku. Segera kuputar tubuhku hingga mataku benar-benar melihat jiwa raga Fajar sedang menaiki motorku.

"Enak juga pake motor cewek." ujarnya sambil mendengus geli. Itu terlihat manis dipenglihatanku. Aku sampai membeku oleh dinginnya salju ini. Salju yang berada tepat didepan mataku. Aku melihat Fajar dipenuhi oleh butiran salju dan matanya bersinar bagai rembulan di malam hari. Seindah itulah dia di bayanganku.

FAJAR [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang