BAGIAN DUA PULUH TIGA

26 3 0
                                    

KEHILANGAN Fajar bukanlah kelemahanku, tapi efek dari kehilangan itulah yang menyebabkan aku kehilangan diriku sendiri.

Aku kembali mengalami masa menyedihkan ini. Dimana alasan untuk mencari kebahagiaan hancur tak bersisa.

Semua yang telah Ayah lakukan dalam kurun waktu kurang dari sepuluh menit itu nyaris membuatku bunuh diri. Dia memisahkan aku dari Fajar, pengisi kekosongan dalam hati.

Seburuk itukah Ayah?

Atau, apa ini bentuk dari kasih sayangnya?

Mana mungkin iya.

Kalaupun benar, tidak mungkin seorang Ayah dengan teganya menghancurkan kebahagiaan anaknya sendiri. Sudah jelas malam itu aku menjelaskan segalanya mengenai Fajar.

Andai aku masih memiliki tenaga untuk bicara, maka saat ini juga aku akan menghampiri Ayah dan mengulangi penjelasanku sampai Ayah benar-benar paham.

Tapi niatku ini dihentikan oleh isi pikiranku yang mengingatkan perkataan Ayah sore kemarin.

"Kamu masih bisa bahagia, bukan dengan dia, tapi bersama keluarga."

Jantungku berdebar-debar setiap kali mengingat kejadian itu. Selepas dari kejadian itu, aku langsung mengurung diri didalam kamar sampai pagi. Ketukan demi ketukan yang Ayah lakukan tidak membuatku untuk bereaksi. Aku tetap diam bagai patung di kamar.

Seharusnya aku tidak mengalami masa frustasi lagi, setelah kehilangan Kinan bertahun-tahun lalu. Seharusnya sekarang aku masih berhubungan dengan Fajar. Memikirkannya saja hampir membuatku gila.

Kedua mataku sampai bengkak. Padahal aku tidak merasa kalau aku menangis. Mungkin menangis pun rasanya enggan dilakukan. Hatiku menolak keras untuk mengeluarkan air mata.

Alasannya, jiwaku sudah lelah. Pasrah.

"Buka pintunya, Zella!" suara Ayah terdengar begitu keras diluar kamar. Aku semakin menenggelamkan tubuhku dalam balutan selimut. Mencoba untuk menutup mata, manakala aku sudah dicabut nyawanya. Siapa tahu? Itu, terdengar gila.

"Jangan keras sama anak! Sudah cukup kamu memperlakukan Zella sekeras itu! Aku berhenti mematuhi aturanmu!"

Sontak aku menyibakkan selimut kasar ketika Ibu menyahut Ayah dengan suara bergetar. Bahkan aku bisa mendengar isak tangis tertahan darinya.

Apakah Ibu rela menangis karena... aku?

"Zella anakku dan sudah menjadi tanggung jawabku untuk mengaturnya! Kenapa sekarang kamu membelanya hah?! Rasa sayangmu sudah kembali, iya?!" suara Ayah semakin kencang semakin berisik ditelingaku.

"TAPI KAMU TERLALU KERAS MENGATURNYA!" timpal Ibu tak kalah kencang. Bentakan mautnya benar-benar membuatku muak.

"KARENA AKU TIDAK MAU DIA BERNASIB SAMA SEPERTIKU!!"

DEG

"A-apa maksudmu?" tanya Ibu seperti tidak mengerti maksud dari ucapan Ayah. Begitupun aku, disini aku juga penasaran apa maksudnya. Menunggu jawaban Ayah yang terlalu lama pada akhirnya hanya terdengar tangisan keras yang berasal dari mulut Ibu.

Sebentar aku mencoba berpikir. Tapi otakku menolak melakukannya.

Tiba-tiba penglihatanku kabur dan entah kenapa aku tidak bisa melihat apapun hingga sebuah suara pintu didorong kuat menyapa telingaku yang masih bekerja meski aku sudah pingsan.

"Zella!"

***

Perlahan aku membuka kedua mataku saat merasakan tubuhku sudah sepenuhnya sadar. Pertama kali yang kulihat adalah ruangan yang serba bercat putih.

Apakah ini rumah sakit?

Aku menoleh dan saat itulah aku baru sadar ada Ibuku yang tengah tidur dalam posisi duduk dengan posisi kepala diatas tanganku. Hatiku panas melihat keberadaan Ibu disini. Dan sialnya mataku berkaca-kaca saat pikiranku membisikan kalimat menyakitkan.

Saat kamu sehat kemanakah sosok Ibu? Sekedar untuk menyapa saja sepertinya mustahil. Lalu kenapa saat kamu sakit dia datang padamu? Apakah ini sebuah penyesalannya?

Setetes air mata lolos dari salah satu mataku. Segera aku menghapusnya. Pergerakanku justru membangunkan Ibu. Dia terkejut karena melihatku sudah sadar dari tidur panjang.

"Akhirnya kamu bangun, Zel." ujarnya lega seraya mengelus telapak tanganku yang pucat, "Kamu pingsan selama dua hari dan selama itu juga Ibu menemani kamu disini. Maafkan Ibu, Zella." lanjutnya seraya menangis tertahan sambil menekan kata maaf. Punggungnya berguncang mengikuti irama tangisnya.

Hatiku kembali tersentuh melihat Ibu menangis langsung didepan mataku. Entah kenapa tiba-tiba tanganku terulur untuk menyentuh punggungnya dan menepuknya beberapa kali.

"Jangan menangis didepanku, Bu."

Ibu menurutiku dan segera menghapus jejak air matanya. Wajah yang hampir tua itu menatapku sayu dengan seulas senyum tipis yang kutahu menyimpan kepedihan yang teramat dalam.

"Ibu menyesal, Zella." ujarnya sedih. Punggungnya pun kini melorot diikuti tarikan napas yang kuat. Sepertinya dia sedang menahan sesuatu yang begitu berat didalam hatinya.

"Terlambat," balasku enteng tanpa memikirkan perasaannya.

"Tapi untuk meminta maaf nggak terlambat, kan?"

"Terlambat juga,"

Helaan napas berat terdengar darinya, "Bagaimana caranya agar Ibu bisa menjadi Ibu yang kamu inginkan?"

Menjadi Ibu yang aku inginkan, ya?

"Ibu benar-benar terlambat untuk menanyakan itu!"

"Maaf...."

Untuk kesekian kalinya, Ibu menangis didepan mataku lagi. Aku tidak suka dengan orang yang menangis apalagi didepanku secara langsung. Karena menangis adalah kelemahanku yang selalu membuatku terjun lagi ke masa menyedihkan itu. Aku benci semua orang! Mereka melakukan apapun tanpa memikirkan resikonya. Begitupun dengan Ayah, seenaknya dia memutuskan hubunganku dengan Fajar. Seharusnya dia bersyukur, karena apa? Fajar-lah orang yang satu-satunya berhasil membuat perubahan dalam pola pikiranku.

Terlambat.

Satu kata untuk semua yang telah terjadi. Aku tidak suka dengan penyesalan. Untuk apa menyesali perbuatan yang sudah kita lakukan sebelumnya? Percuma.

"Kalau Ibu masih menangis, pergi dari sini. Biarkan aku sendiri." ujarku menatap Ibu dingin.

Kulihat ekspresi Ibu berubah menjadi kaget setelah mendengar kalimat pengusiran dariku. Dia menghapus air matanya lagi.

"Hanya kamu satu-satunya harta yang Ibu miliki, Zella." katanya dengan suara parau meski tersendat akibat tangisannya.

Aku mendengus dan tertawa dalam hati. Harta katanya? Apa benar aku itu hartanya? Lalu kemana semua kemewahan dunia yang dia cari selama ini? Apakah itu bukan termasuk hartanya juga?

Lucu.

"Jangan mencoba untuk merayuku, Bu. Karena sudah terlam--"

Ucapanku terpotong oleh kelanjutan dari perkataan Ibu, "Ibu akan menceraikan Ayahmu."

-<<FAJAR>>-

Hai haiiii~
Masih minat membaca cerita saya? Wkwk kalau gak juga gak masalah hihi:)

Saya juga sadar sudah menjadi author yang labil. Kadang nulis cerita belum sampai rampung sudah dihapus.

Pasti diantara kalian ada yang tidak suka dengan tindakan bodoh saya. Padahal pembaca cerita saya yang dulu juga sudah lumayan eh malah saya hapus.

Alasannya, sih, tergantung mood wkwk :v

Lalu nasib cerita Fajar gimana thor? Saya coba untuk tetap melanjutkannya ya😁 dan masih sama tergantung mood 😆

Yauda sampai sini dulu ya dan  jangan lupa VOMMENTNYA

SEE YOUUUU~

FAJAR [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang