AKU membeku ditempat berpijak, menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, ada Fajar disana tengah duduk di sofa ruang tamu. Dia diam bagai patung meski tahu bahwa sekarang dia sedang ditatap tajam oleh Ayahku yang duduk di seberang meja.
"Santai saja ... anak saya sudah pulang," Ayah angkat bicara setelah melihat kedatangan aku. Suasana hening pun telah musnah kala kedua kakiku mengeluarkan bunyi gaduh akibat sepatu pantofel yang kupakai untuk sekolah hari ini.
Dengan tergesa-gesa aku menghampiri Fajar dan menatapnya yang menatap ke arah meja. Cowok ini masih bisa bersikap tenang didepan Ayahku.
"Kenapa kamu nggak bilang mau kesini?!" tanpa sadar suaraku naik menjadi sentakan yang membuat Fajar beralih menatapku.
Dapat kulihat sudut bibirnya tertarik ke atas, "Ada perlu." meskipun dia menyeringai tapi aura kegelisahan yang sedang dia tutupi tidak bisa disembunyikan dariku. Aku tahu, dia juga sama sepertiku yang takut dengan sosok Ayah.
"Sebaiknya kamu duduk dulu, Zella." kata Ayah memerintah dengan wajah serius.
Aku ingat betul bahwa seharusnya hari ini Ayah bekerja dan akan pulang nanti malam bersama Ibu. Lalu untuk apa Ayah berada di rumah? Apa dia sengaja mengundang Fajar kesini? Aku tidak bisa percaya begitu saja kalau Fajar yang datang kesini dengan keinginannya sendiri.
"Kenapa Ayah nggak berangkat kerja?" tanyaku seraya mendudukan diriku disofa samping Fajar.
"Jawabannya ada didepan mata kamu, Zella."
Saat ini Ayah terlihat sangat dingin. Wajahnya benar-benar jauh dari ekspresi yang biasanya. Ya, meskipun selalu datar tapi tidak sedingin ini auranya. Aku cukup ketakutan, rasanya seperti sedang disidang dengan masalah yang cukup berat.
Ayah membuang napas kemudian menyandarkan punggungnya ke belakang. Kali ini dia menatap Fajar intens.
"Kamu masih ingat saya, kan?"
Fajar mengangguk pelan tanpa senyuman. Kalau saja dia mau menampakan senyuman maka akan terlihat sopan di mata Ayah. Kurasa Fajar masih trauma akibat kejadian lima bulan lalu saat Ayah menghajarnya sampai babak belur.
"Kamu masih ingat, apa yang pernah saya lakukan kepadamu?"
Fajar kembali mengangguk. Pikiranku sedang tidak keruan sekarang. Tatapanku kini hanya fokus kepada Fajar yang sedari tadi hanya diam saja seperti tidak berniat untuk membuka mulutnya barang sedikit pun.
Oh, ayolah, Fajar. Hadapi Ayahku dengan berani! Aku ingin harga dirimu dijunjung tinggi dan berhenti berpikir negatif tentangmu.
Please...
"Kalau kamu masih ingat saya dan tindakan saya waktu itu, maka sudah jelas ... saya tidak menyetujui hubunganmu dengan anak saya."
DEG
Aku tercengang mendengar perkataan Ayah. Sungguh keterlaluan! Ini yang aku takutkan kalau Fajar mendatangi rumahku lagi. Apakah Ayah tidak ingat ucapanku malam itu? Seharusnya Ayah mengerti apa maksud dari ucapanku! Tidak, aku tidak bisa menerima semua ini!
"Nggak, Ayah! Zella nggak mau pisah sama Fajar!"
Zella bodoh! Disituasi seperti ini kenapa harus menangis. Tunjukan usahamu jika memang cintamu tulus kepada Fajar. Tinggalkan rasa takutmu sekarang juga!
"SAMPAI MATI ZELLA NGGAK MAU PISAH SAMA FAJAR!"
Aku terkejut saat dirasa tanganku dipegang seseorang dan itu Fajar. Dia menatapku dingin. Kenapa semua orang menjadi dingin disini? Apa salahku? Aku hanya tidak ingin kehilangan Fajar! Aku tidak sanggup lagi. Air mataku sudah mengucur deras dan sialnya Fajar tidak mau menghapus jejak air mataku.
Sebenarnya ada apa?!
"Kita harus pisah."
Pisah?
DEG
Pisah...
Pisah itu artinya putus, kan...
Fajar meminta putus
Hari ini
Dia...
Tubuhku mati rasa. Seolah-olah waktu berhenti cukup lama. Akibatnya hatiku sangat sesak. Sekedar menghirup udara saja rasanya susah payah.
Jadi, hari ini kami resmi putus?
Tiba-tiba kesadaranku kembali sepenuhnya. Aku mendelik menatap Fajar. Kugenggam tangannya erat seraya menangis kuat.
"Apa maksudmu hah?! Jangan katakan itu padaku, Fajar! Kamu hanya bercanda, kan?"
"Nggak,"
"Apa?" balasku menatapnya dengan tatapan kosong.
"Aku kesini karena ada perlu, dan keperluanku disini sudah selesai. Kita nggak berhubungan, lagi."
Untuk pertama kalinya, Fajar menggunakan aku/kamu setelah hampir setengah tahun berhubungan. Dia menggunakan aku/kamu saat dia menyatakan cintanya ... dan, memutuskan cintanya.
Aku menggelengkan kepalaku berkali-kali terus mengeratkan genggaman tanganku di tangannya agar dia tidak pergi dariku, lagi.
"Aku nggak mau, Jar, aku nggak mau! Apa alasannya hah? Apa alasannya?" suaraku melirih karena tak kuasa menahan isak tangisku yang semakin menjadi.
"Aku... hiks... nggak bisa...."
"Aku... nggak mau... hiks."
Genggaman tanganku melorot. Aku merasakan sakit yang luar biasa. Merenggut semua kebahagiaan yang kucicipi selama ini. Rasanya darahku berhenti mengalir.
Kemudian aku melihat Ayah bangkit berdiri, mempersilakan Fajar untuk pergi. Sedangkan aku? Hanya bisa mematung ditempat. Karena itu semua, tubuhku mati rasa. Aku merasakan diriku sudah diambang kematian meski aku tahu diriku masih hidup.
Ayah telah merenggut harapanku untuk bahagia.
Kepergian Fajar tidak berhasil membuatku sadar untuk mencegahnya keluar dari rumahku. Sampai pintu ditutup pun aku masih diam ditempat. Air mata yang semula membasahi pipiku seketika berhenti. Aku menatap sofa bekas diduduki Fajar. Menatapnya nanar dan sukar dipercaya.
"Kamu masih bisa bahagia, bukan dengan dia, tapi bersama keluarga." bisik Ayah tepat di telingaku, "Bukankah itu yang kamu harapkan? Berhenti jadi manusia rakus yang ingin mendapatkan segalanya. Karena kehidupan bukan tentangmu saja, Zella."
Setelah mengatakan itu, Ayah melangkah pergi meninggalkanku seorang diri disini. Meninggalkan jejak yang menginjak-injak hati lemah seorang anak berusia delapan belas tahun ini.
Dan saat itulah tanpa sadar bibirku bergetar hebat seraya mengucapkan nama, "Kinan..."
-<<FAJAR>>-
Silakan membaca gengs😋
KAMU SEDANG MEMBACA
FAJAR [Tamat]
Teen FictionTamat Ini kisahku dengan dia. Ini aku yang merasa asing namun diam-diam selalu dicintai. Ini kisahku dengan mereka. Ini aku yang mulai sadar bahwa aku hidup tidak sendirian. Ada mereka yang selalu berusaha menggapaiku meski aku selalu menghindarinya...