BAGIAN SEPULUH

27 4 0
                                    

PIKIRANKU kalut sekali setelah pulang sekolah. Kini tubuhku sudah terlentang diatas kasur empuk. Berbagai pertanyaan berkumpul di otak sehingga aku menjadi pusing. Kinan, cewek itu membuatku terkejut. Bagaimana bisa tadi dia mengaku sebagai teman semasa kecilku? Siapa dia sebenarnya?

Memang benar temanku yang dulu itu juga bernama Kinan, tapi bukan Kinan yang sekarang. Mengingat bahwa sosok Kinan telah lama meninggal karena penyakit yang dideritanya. Aku merinding. Kalau itu Kinan temanku, kenapa baru sekarang dia mengatakannya? Oh, tidak. Aku tidak boleh percaya begitu saja.

Jadi, ini alasanku yang berhenti untuk memiliki teman. Sepeninggalan Kinan, aku mengalami depresi selama bertahun-tahun. Kinan sudah kuanggap sebagai saudaraku sendiri. Waktu itu aku tidak percaya bahwa Kinan sudah meninggalkan aku untuk selama-lamanya.

Apakah hantu Kinan memasuki jiwa Kinan yang sekelas denganku itu? Apakah benar? Yang benar saja. Tidak mungkin dia gentayangan. Padahal sudah belasan tahun lalu dia pergi.

Tapi

"Percaya nggak, gue ini Kinan? Si sumbing kecil yang kabarnya udah meninggal?" katanya beberapa jam lalu saat di kantin. Dia menyeringai dan membuatku cukup takut saat melihatnya. Memang sebelumnya kami tidak pernah dekat dan aku mulai lebih mengenali Kinan setelah kami berada di kelas yang sama saat kelas dua belas ini.

Aku menjambak rambut frustasi. Sebenarnya Kinan itu masih hidup atau meninggal sih?!

TING

Ponselku berdering singkat. Itu tandanya ada sebuah pesan. Pasti Fajar. Iya, aku sedang berharap.

Fajar : Oi Lalaaaa

Eh, tebakanku tepat kawan! Fajar yang mengirim pesan.

Zella : Apaaaa

Fajar : Dih

Aku tertawa nyaring membaca balasan pesannya.

Fajar : Ada waktu nggak?

Karena terlalu sibuk tertawa sampai tidak menyadari ada pesan selanjutnya.

Fajar : Hei

Aku langsung menyudahi tawaku dan mengetikan balasan untuknya. Sungguh, perutku sangat sakit karena tertawa terlalu keras.

Zella : Apa sih yang nggak buat kamu

Fajar : Alay

Zella : Ya terus ada apa?

Fajar : Naga pengin ketemu lo

Hah? Naga? Apa maksudnya? Bukankah hewan itu hanyalah legenda masyarakat saja? Kenapa Fajar mengetikan nama hewan itu di pesannya?

Fajar : Naya wkwk

Astaga. Ternyata Naya rupanya. Kuakui aku cukup bodoh menanggapi jenakanya Fajar.

Malas untuk menggerakan jemariku, aku memilih untuk menelpon saja. Alasannya sih, kangen suaranya. Dan juga agar bisa mendengar secara langsung Fajar tertawa. Lalu tidak lama kemudian dia menerima telponku.

"Nggak usah bohong sama aku. Bukan Naya yang pengin ketemu tapi kamu kan?" tanyaku geli menahan kekehan yang meminta untuk dikeluarkan.

"Nay!" teriak Fajar cukup keras diseberang sana dan aku pun sedikit menjauhkan ponsel dari telinga. Terkejut karena dengan tiba-tiba dia berteriak sekeras itu.

"Kak, temanin Naya dong. Bang Fajar nyebelin banget dari tadi." suara kecil Naya muncul disana.

"Anak kecil udah pintar bohong rupanya," ujar Fajar yang ditanggapi ledakan tawa geli dari Naya. Aku tahu mereka berdua sedang bercanda. Disini aku hanya bisa tersenyum saja. Kehidupan Fajar sedang harmonis, aku yakin sekali.

"Lala?" panggilan Fajar membuyarkan lamunanku.

"Eh, iya?"

"Bisa kesini kan?"

"Iya, Kak. Cepetan kesini biar kita gebukin bang Fajar."

Jeritan Naya terdengar begitu menggemaskan didalam telpon. Pasti Fajar sedang menggelitiki gadis kecil itu.

"Oke."

Aku menutup telpon sepihak. Entah kenapa aku tidak senang sekarang. Seharusnya aku bisa ikut bahagia karena melihat kebersamaan kakak adik itu. Karena pada dasarnya aku langsung teringat oleh Kinan yang dulu sering bercanda ria bersamaku. Aku rindu sekali kenangan itu. Sialnya aku kembali mengingat kenangan itu sekarang. Susah payah aku melupakannya.

"Zella,"

Aku menoleh saat namaku dipanggil oleh Ibuku yang baru saja membuka pintu kamar. Eh? Ibu sudah pulang ternyata.

"Apa ini?" tanyanya seraya melemparkan ponsel miliknya diatas pahaku, "Lihat!"

Aku menuruti perintah Ibuku dan mengecek ponsel tersebut. Didalam layarnya terdapat fotoku saat di clubbing. Oh, itu rupanya. Baguslah kalau Ibu sudah tahu. Tapi aku penasaran, dapat dari mana ya?

"Zella!" sentaknya sambil memelototiku.

"Kenapa? Apa Zella nggak boleh main kesitu?"

PLAK!

"Berani kamu sekarang ya! Mau jadi jalang?"

"Aku bosen jadi anak baik. Percuma selama ini berlagak baik kalau kedua orang tuaku aja nggak pernah menyayangi, percuma! Sekarang giliran aku main ke tempat itu, Ibu baru mau ngomong sama aku. Kenapa? Apa aku salah?"

PLAK!

"Ibu nggak pernah menyuruh kamu kesana! Kurang ajar kamu, Zella!"

Aku mendongak menatap Ibu meskipun mataku sudah berkaca-kaca dengan wajah yang sudah merah padam.

"Ibu memang nggak pernah nyuruh aku kesana tapi sikap Ibu yang memaksaku untuk pergi kesana!"

"Sikap apa yang kamu maksud?!"

"Sikap ketidak pedulian orang tua terhadap anaknya!" kataku mencoba menyimpan air mataku agar tidak keluar. Setelah membuang napas kasar didepan Ibuku, aku melangkahkan kakiku keluar dari kamar. Tapi baru melangkah sampai diambang pintu, suara tangisan lirih terdengar.

"Kamu berubah semenjak Kinan meninggal," ujarnya lemah disela tangisannya.

Hatiku tersentak mendengar nama Kinan diucapkan oleh Ibuku.

"Dia masih hidup." aku meralat ucapannya.

Ibuku terkejut bukan main. Aku dapat melihat pergerakannya dari sudut mataku. Kemudian dia berjalan cepat mendekatiku.

"Apa? Hidup? Kinan masih hidup?"

Aku memutar bola mataku malas menanggapi rasa penasaran Ibuku yang kelewat batas. Ya, Kinan pun sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri. Dulu Ibu merasa bersalah karena Kinan meninggalkan aku. Katanya, dia lupa untuk merawat Kinan saat di rumah sakit. Padahal dia tahu, Kinan itu sebagian dari jiwaku. Sebagian dari kebahagiaan yang sekarang sudah punah.

"Dia menjelma sebagai perempuan cantik di sekolah dan aku baru menyadari kalau Kinanti itu Kinanku yang dulu."

"Kinanti?"

"Teman sekelas." jawabku singkat.

Ibuku semakin terkejut dengan pengakuanku. Dia menutupi mulutnya dengan kedua telapak tangannya.

"Aku izin pergi dulu."

Tanpa mengindahkan panggilan Ibu, aku terus berjalan keluar dari rumah. Tidak nyaman ketika harus berbincang terlalu lama bersamanya. Ternyata aku sudah mengasingkan Ibuku sendiri.

-<<FAJAR>>-

FAJAR [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang