MOBIL Dirma berhenti tepat di halaman rumahku. Aku langsung keluar membantu mengambil tas bawaan Ibu selama di rumah sakit. Mungkin lebih tepatnya, Dirma yang membantu. Dengan santainya dia bawa tas-tas itu ke dalam rumahku. Sedangkan Ibu, dia masuk ke rumah setelah mengucapkan banyak terima kasih kepada Dirma dan dibalas dengan anggukan sopan yang cowok itu lakukan.
Memastikan Ibu sudah memasuki kamarnya untuk istirahat, aku memanggil nama Dirma lirih. Cowok itu baru saja hendak memasuki mobilnya yang pada akhirnya berhenti, menatapku bingung.
"Nanyain Fajar, lagi?"
"Dimana?" tanyaku seraya melangkah mendekatinya yang berada disebelah pintu mobil.
Sambil bersedekap, Dirma mengunci tatapannya pada mataku, "Dia berubah."
Kedua alisku pun merosot ke bawah.
"Maksudnya?"
"Lo tahu, kan, Fajar tuh cowok kayak apa. Semua tahu dia dingin tapi nggak pendiam. Nah kali ini dia jadi pendiam, lebih dingin malah. Setiap ditanya ada apa, langsung pura-pura bisu."
Aku memicingkan mataku, "Lo yakin?"
"Kalian lagi bertengkar, ya? Oh, mungkin dia kesepian karena lo nggak masuk sekolah. Bener?"
Entah kenapa ucapan Dirma membuatku sedikit tercenung. Apa mungkin Fajar kesepian karena aku tidak ada di sekolah? Kuharap dia tidak tahu kalau selama ketiadaan aku di sekolah adalah sedang sekarat di rumah sakit.
"Dia tahu nggak kalau gue sakit?"
Dirma menarik sudut bibirnya ke atas, tersenyum smirk. Batinku mengatakan, dia sok keren dengan gaya seperti itu. Tidak ada pantas-pantasnya. Tapi, kenapa aku pernah jatuh cinta padanya? Oh, aku sudah gila.
"Gue udah bilang, 'kan, Fajar jadi pendiam. Jadi, pertanyaan lo nggak ada jawabannya, Zel."
Samar-samar aku menggumam. Bingung harus berkata apalagi. Semuanya terasa sangat berbeda semenjak aku di rawat. Sebenarnya aku tidak sakit. Tubuhku sehat. Hanya saja batinku terluka. Hatiku tersayat. Otakku mati. Itulah mengapa aku jadi sulit berpikir saat ini. Kurasa aku harus seperti Ibu, beristirahat.
"Makasih untuk infonya. Lo boleh pulang."
Kulihat Dirma mengernyit tak paham.
"Ngusir gue?"
"Lagi pengin sendiri, pulang gih."
Dirma menurunkan alisnya, kedua matanya menatapku cukup lama. Kemudian dia menyunggingkan senyuman yang menurutku tidak berbobot atau datar.
"Sesuai permintaan lo waktu itu, gue nggak akan sedingin Fajar dan nggak bakal jauhin lo meskipun lo tahu gue sekarang pacaran lagi sama Maura. Intinya.... gue masih jadi Fajar Dirmasukma Septian yang asli."
Sudut bibirku tersungging. Kurasa Dirma sedang mencoba untuk menghiburku.
"Emang ada gitu Fajar yang palsu?"
"Ada." balasnya dengan wajah serius.
"Siapa?"
"Mantan lo."
DEG
Sontak mataku membulat sempurna. Dari mana dia tahu soal ini? Padahal aku belum buka mulut perihal bubarnya aku dengan Fajar dikarenakan Ayah.
"Tahu dari Ibu lo."
Seakan tahu apa isi pikiranku, Dirma langsung melanjutkan ucapannya dan menyamarkan pertanyaan yang meronta di otakku.
Sekarang aku bingung harus menjawab apa. Lidahku kelu ketika mengingat kenangan pahit itu. Bahkan hampir membuatku kehilangan kesempatan untuk hidup.
Dan pada akhirnya hembusan napaslah yang terdengar sampai di telinga Dirma.
"Kata lo nggak akan pernah mau putus. Kenapa putus?"
"Udah nggak nyambung." gumamku tak sadar tapi terdengar oleh Dirma.
Dirma sedikit terkekeh. Aku tahu apa maksud kekehannya itu. Dia senang diatas penderitaanku. Pasti itu.
"Gue bantu sambungin lagi, mau?"
Aku memejamkan mataku sejenak. Yang aku butuhkan saat ini bukan bantuan tapi ruangan. Ruangan untuk tempatku beristirahat selama yang aku inginkan.
Tahu akan respon tubuhku, Dirma mengusap kepalaku lembut seraya mendekapku sebentar. Dia dekatkan bibirnya di telingaku.
"Besok Ujian. Saran gue buat lo di hari ini, jangan banyak bicara, habisin waktu sebanyak mungkin buat diri lo sendiri, tidur. Gue jamin besok bakal ada senyuman di bibir lo."
Entah kenapa semua kalimat yang dia ucapkan seperti mantra yang berhasil menghilangkan segala keluh kesah di jiwaku. Aku membuka mataku perlahan. Dirma sudah melepaskan dekapannya dan menatapku lembut.
"Semangat menghadapi peperangan antar otak, Zella!"
Aku terkekeh pelan mendengar ucapannya yang lagi-lagi seperti hiburan untukku.
"Gue pulang dulu, ya. Jangan lupa lakukan apa yang gue suruh."
Aku mengangguk patuh. Mataku terus menatap Dirma yang sudah sepenuhnya memasuki mobilnya dan melaju pergi.
Hari ini aku tahu sesuatu. Bahwa kebahagiaan itu diawali dari pikiran kemudian berakhir di hati. Apakah aku memberikan hatiku lagi pada Dirma setelah dia membius pikiranku?
-<<<FAJAR>>>-
KAMU SEDANG MEMBACA
FAJAR [Tamat]
Teen FictionTamat Ini kisahku dengan dia. Ini aku yang merasa asing namun diam-diam selalu dicintai. Ini kisahku dengan mereka. Ini aku yang mulai sadar bahwa aku hidup tidak sendirian. Ada mereka yang selalu berusaha menggapaiku meski aku selalu menghindarinya...