BAGIAN LIMA PULUH SATU

9 2 0
                                    

BESOK hari dimana acara kelulusan dilaksanakan. Lapangan ramai oleh para anak Osis yang sedang menyiapkan panggung. Sedangkan yang tidak berkepentingan hanya menonton ditepi lapangan atau didepan kelas yang berdekatan dengan lapangan.

Aku ikut menjadi penonton. Mataku berbinar menyaksikan kesibukan para Osis yang menyiapkan acara kelulusan kakak kelas mereka.

Ditengah keasikan menonton, tak sengaja aku melihat Fajar disana, ikut menata panggung. Rambutnya yang sedikit panjang diikat hingga mencuat diatas kepalanya. Terlihat sangat imut dimata siapapun yang memandangnya.

 Terlihat sangat imut dimata siapapun yang memandangnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tanpa kusadari, aku tersenyum. Dia bekerja keras membantu pekerjaan Osis. Keringat yang membasahi dahinya seperti membujukku untuk menghampirinya lalu memberikan usapan didahinya dan memberikan sebotol minuman padanya.

Akupun segera melakukan hal itu. Melesat ke kantin, membelikannya sebotol air dingin. Lalu berjalan kembali menuju lapangan. Tapi Fajar menghilang. Dia tidak terlihat dimanapun. Aku berusaha bertanya pada salah satu anak Osis tapi dia tidak tahu.

Aku menatap nanar botol digenggamanku. Meremasnya kuat.

"Pasti buat gue."

Bahuku berjengkit. Segera aku memutar tubuhku. Terkejut memang melihat kedatangan Fajar yang tiba-tiba itu. Lantas aku hanya bisa memasang wajah datar. Berusaha menutupi kegugupan ini.

Lalu kuserahkan botol itu kepadanya. "Nggak gratis."

Fajar mendengus geli seraya menerima botol dariku. Menegak setengah dari isinya. Selama minumpun matanya menatapku terus. Aku tak tahan dengan matanya itu segera membuang wajah.

"Hari ini lo pake blush on?"

Seketika mataku melebar. Dengan cepat tanganku sudah menyentuh kedua pipi. Ah, ngaco!

Aku menatapnya datar, "Sejak kapan seorang Zella pake make up?"

Fajar menggedikan bahunya, "Sejak jadi mantan."

"Gue nggak serendah itu ya buat cari perhatian cowok lain."

Kini Fajar menatapku intens, "Oh, bener. Lo pake make up buat cari perhatian gue."

Aku mendecak sebal. Tingkat kepercayaannya kuakui sangat tinggi. Aku jadi takut dia akan jatuh dan pasti sakit sekali rasanya. Lantas aku rebut botol pemberianku, menyiramkan ke wajahku. Ingin membuktikan kalau aku tidak memakai make up.

"Lo lihat, 'kan? Wajah gue anti bedak!"

Fajar terkekeh. Tangannya terulur mengacak rambutku gemas. "Mantan gue lucu. Kemarin bilang cinta sekarang bilang benci. Terus yang bener mana?"

Aku menyilangkan tanganku didepan dada, berani menatapnya tepat diiris matanya. Tapi aku menahan napasku ketika mata Fajar berkeling indah, lalu mengedipkan sebelah mata. Sungguh, aku tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang.

"W-wa gue dibajak sama temen!"

"Temen lo yang mana? Kinan? Nggak percaya."

DEG

Mendengar nama Kinan disebut, seketika hatiku langsung mencelos. Rasa sakit itu kembali membakar jiwa. Teringat apa yang kujanjikan pada Kinan, aku merasa kalut sendiri.

Bagaimana bisa aku melepaskan Fajar semudah itu? Hanya karena ingin membujuk Kinan supaya mau dioperasi.

"Kinan lagi dirawat di rumah sakit. Lo udah tahu?"

"Udah."

Aku diam. Tentu saja Fajar sudah tahu. Dia itu kan calon tunangan Kinan. Mana mungkin Fajar tidak mengetahui kondisinya.

"Udah jenguk?"

"Belum."

Aku terperangah dengan jawabannya. Ringan sekali nada ucapannya. Seperti tidak merasa bersalah sedikitpun.

"Kenapa?"

"Lo mau gue sama dia, 'kan? Jelas gue nolak sebelum lo nyuruh. Dan lo harus tahu, gue nggak pernah nerima perjodohan itu."

Alisku mencuram tajam. Tak mengerti dengan apa yang diucapkannya. Kalau Fajar tidak pernah menerima, lantas mengapa mereka terlihat sudah saling akrab?

"Kalau lo tanya kenapa gue akrab sama dia, alasannya karena elo, Lala."

"Gue?" tunjukku pada diri sendiri.

"Elo jadi satu-satunya alasan kenapa gue deket sama Kinan. Dia itu temen semasa kecil lo. Pasti udah tahu segalanya tentang lo. Pertama kali gue kenal lo juga dari dia. Saat masih SMP dia ngasih foto lo pas lagi kecil. Nyeritain masa-masa lo yang dulu. Dia bilang pengin banget ketemu lo. Dan itu adalah awal gue suka sama lo, La. Udah tiga tahun lamanya."

Entahlah bagaimana caranya aku menjelaskan apa yang kurasa tapi kini aku.... bahagia. Mengetahui asal muasal kenapa Fajar bisa mengenaliku, jatuh cinta selama itu, lalu memintaku menjadi pacarnya.

Tanpa bisa kutahan, aku langsung memeluknya. Menyalurkan perasaan nyaman ini padanya. Tentang rindu yang teramat sangat menyiksa. Tentang cinta yang teramat sangat menusuk.

Aku ingin Fajar bisa merasakannya juga.

"Uwuuuu.... ada yang mau balikan nih." seru seseorang dibalik mic.

Kami berdua menoleh ke asal suara. Menilik siapa gerangan yang sedang berdiri santai diatas panggung.

Dirma melambaikan tangannya ke arah kami, "Balikan dong biar perpisahan ini menjadi awal mula kalian bersama lagi."

Dapat kurasakan detakan jantung Fajar berpacu cepat. Ia melirikku seraya tertawa lepas. Membuat matanya menyipit.

Tangan Fajar masih mencengkram pinggangku, semakin mempererat pelukannya. Aku hanya bisa pasrah. Membisikan sebuah kalimat yang membuatku bergidik karenanya.

"Kalau udah dewasa nanti, lo nikahnya harus sama gue."

-<<<FAJAR>>>-

FAJAR [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang