BAGIAN EMPAT BELAS

24 3 0
                                    

TEPAT pukul setengah empat para guru menutup pelajaran sore ini. Semua murid termasuk aku bergegas menuju parkiran menjemput kendaraan masing-masing. Sabar menunggu ratusan manusia yang sedang sibuk menuntun motornya untuk keluar dari area parkiran, aku menyibukan diri dengan bermain ponsel diatas jok motor. Masalahnya, kini motorku terhimpit oleh beberapa motor milik kaum adam yang pastinya aku tidak kuat untuk menggesernya barang sedikit saja. Hingga sebuah suara tidak asing menyapa telingaku, suara yang sangat aku kenali dan suara yang setiap hari mengajak ribut.

"Gue nggak bisa nemenin lo di toko, cuma bisa mengantar lo sampai disana dengan selamat."

Kemudian suara lainnya muncul menjawab ucapan Dirma.

"Nggak masalah selagi lo yang melindungi gue selama perjalanan."

Ya, itu suara Maura. Aku cukup tersentak mendengar obrolan singkat tersebut. Semua itu terjadi dibelakangku. Tentu saja Dirma tidak menyadari keberadaanku karena sekarang kepalaku tertutupi oleh helm dan tubuhku dibalut oleh jaket jeans. Bahkan rambut pendekku tidak terlihat sehelai pun, semuanya tersimpan rapi didalam helm. Mungkin Dirma mengira aku adik kelasnya sebab tubuhku terlalu mungil jika dilihat dari belakang. Itulah mengapa dia sama sekali tidak mengenali adanya diriku didepannya saat ini.

Kemudian suara deru mesin motor pun terdengar. Beberapa detik setelahnya motor itu melaju membawa Maura yang duduk di jok belakang seraya memeluk Dirma erat. Padahal mereka sudah berstatus mantan. Entah kenapa hatiku sedikit tersayat melihat kejadian itu. Tidak seharusnya aku merasa cemburu. Lagi pula aku sudah bertekad ingin melupakan perasaanku untuk Dirma. Ingat itu!

"Pulang,"

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara barithon yang tentunya aku tau siapa dia. Fajar, dia sedang duduk santai di jok motornya sambil menatapku datar. Tumben sekali dia berhenti untuk menatapku. Tidak! Aku tidak boleh terkecoh oleh tatapan matanya. Aku harus ingat kesakitanku yang masih membekas dalam hati.

Aku memalingkan wajahku untuk menatap ratusan manusia yang masih sibuk mengambil motornya. Enggan menatap wajah Fajar yang jika keterusan dilihat maka aku akan lumpuh. Memanglah secepat itu aku berubah dan selemah itu aku jika berhadapan dengan Fajar.

"Hei, cewek autis." panggilnya lembut, tapi bagiku terkesan meledek. Buktinya aku disebut autis olehnya. Seautis itukah diriku? Bukan aku yang autis, tapi kamu!

Tatapanku tidak berubah. Masih enggan untuk beralih ke wajah tampan Fajar.

"Sayang,"

Hah? Apa ... Apa tadi? Sayang? Benarkah?

Tentu saja aku langsung menoleh. Sekarang Fajar nyengir. Gila! Jantungku berdetak sangat kencang. Mampus! Aku harus bagaimana? Rasanya ingin pingsan tapi terlalu dramatis. Sungguh, aku tidak bisa jika harus menatap wajah Fajar yang seperti itu. Jarang sekali aku bisa melihat wajahnya yang konyol. Rasanya sekarang aku sedang tidak berhadapan dengan Fajar, dia seperti orang lain.

"Maaf, aku lagi marah!"

"Terusin aja marahnya,"

Wajahku semakin tertekuk. Sialnya Fajar semakin meledekku dengan tawanya yang begitu menjengkelkan. Hei, Zella! Jangan lupakan perkara saat di kantin tadi. Teruskan bakatmu yang selalu kecewa, teruskan! Jangan hentikan!

"Udah seneng?"

Aku menaikan sebelah alisku bingung. Apa maksudnya? Jika diteliti dari nada bicaranya, dia seperti sedang menyindirku entah karena apa.

"Apa sih?" aku berbalik tanya padanya galak.

"Kalau boleh tau, alasan lo nyiksa Kinan tadi karena apa?"

"Kamu nggak usah tau!"

Padahal aku berharap dia meminta maaf setelah mengatai diriku yang sangat menyakitkan itu. Tapi, dia malah penasaran dengan kejadiannya. Aku benci sekaligus kecewa kepada Kinan yang rupanya dibela oleh Fajar. Oh, hidupku ini terasa sangat berat untuk dijalani. Dengan mendengar perkataan Fajar tadi sukses mencabik hatiku sampai detik ini juga. Perkataannya memang paling kurang ajar jika dia sedang berada didalam mode marah besar.

"Kasih tau sama gue."

"Nggak!"

"Kenapa?"

"Kamu suka Kinan?" dalam hati, aku memaki mulutku yang dengan bodohnya mengatakan hal yang malah semakin menyakiti hati secara terus-menerus.

"Pernah gue bilang sama lo kalau gue suka Kinan?"

Sialan! Dia meniru kalimatku saat kami sedang bertengkar soal Dirma beberapa hari lalu. Dimana Fajar memfitnah aku jatuh cinta pada Dirma. Kalau aku disuruh untuk menjawab jujur, aku akan membenarkan ucapannya jika itu ditanyakan dua tahun lalu.

"Terus kenapa kamu bawa Kinan pergi setelah berkata kasar sama aku?"

Fajar menaikan sebelah alisnya, "Kasar? Oh, yang tangan kotor itu? Emang bener kan? Tangan lo kotor, La."

Astaga! Tidak bisakah dia menjaga mulutnya untuk berhenti berkata yang terus menyakiti diriku?!

"Muak!"

"Sini," tiba-tiba kedua tanganku ditarik oleh Fajar. Kemudian dia mengambil tisu basah di saku jaket jeansnya. Ya, kami memiliki jaket yang sama dan tidak sengaja dihari ini kami memakainya bersamaan. "Gue bersihin tangan kotor lo."

Aku cukup tercengang dengan perlakuannya. Kesurupan setan apa dia hari ini? Aku merasa ada yang berubah dalam diri Fajar dan itu terjadi setelah dia membawa Kinan pergi. Apa yang telah dilakukan Kinan pada Fajar sehingga Fajar merubah sikapnya kepadaku?

Darahku berdesir ketika dengan lembutnya telapak tangan Fajar menyapu telapak tanganku menggunakan tisu basah. Kini pergelangan tanganku pun digenggam erat olehnya. Demi apapun kali ini aku merasa impianku untuk merasakan indahnya berpacaran pun terkabul. Inilah bukti jika Fajar bisa membuatku bahagia dan sedih dalam satu waktu.

"Lo pengin gue minta maaf? Oke, maafin gue."

"Terlalu sederhana!" cibirku tidak terima. Tentu saja aku menyimpan bahagiaku dan digantikan oleh wajah yang sebal.

"Gue nggak peka kalau lo mau diajak kencan." balas Fajar datar sambil menyapukan tisu basahnya diseluruh permukaan lenganku.

"Bisa nggak sehari aja nggak nyebelin, Jar!" aku menarik tanganku cepat dan mengusapi tanganku yang sedikit basah. Menatap Fajar yang menatapku datar. Kukira dia akan menyunggingkan senyumannya untukku tapi ternyata tidak.

"Gue bisa berhenti nyebelin artinya lo juga berhenti kangen sama gue dan gue nggak mau itu terjadi."

Aku semakin memberengut mendengar ucapannya itu, "Kangen nggak, nyiksa iya!"

"Tapi Fajar pacarnya Lala nggak mau berhenti nyebelin."

"Gitu ya?"

Fajar mengangguk bagai anak kecil yang tunduk pada ibunya. Imut sekali dia hari ini. Sialnya aku terlanjur melupakan rasa sakit yang membekas dalam dada. Semudah itu Fajar mengobati luka yang telah dia perbuat.

"Jangan sedih ya, La."

"Hm?"

Apakah Fajar sudah sadar akan kesedihanku selama ini?

"Dirma balikan sama Maura."

-<<FAJAR>>-

FAJAR [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang