BAGIAN DUA PULUH TUJUH

38 3 0
                                    

SINAR matahari menyelinap mengenai tepi mataku. Aku terduduk dalam diam diatas kasur. Seragam sekolah sudah terbalut rapi di tubuh. Berbeda dengan pikiranku saat ini. Aku ingat betul ada apa dihari ini. Mendadak mataku memanas ditambah cahaya pagi menusuk iris kelamku. Aku menghela napas berat, menatap ke seluruh isi ruangan suram ini. Yang menjadi saksi setiap tangisku.

Apakah hari ini akan ada air mata di mataku?

Atau, apakah hari ini akan ada senyuman manis di bibirku?

"Zella, kamu ngapain didalam? Nggak berangkat sekolah? Kamu sakit?"

Aku tersentak oleh suara serak Ibuku diluar kamar. Pantas saja dia mendatangi kamarku karena waktu menunjukan pukul setengah tujuh dan aku belum menampakan diri di rumah ini. Kupikir akan ada perdebatan lagi antara mereka setelah ingatanku tertuju pada ucapan Ibu mengenai keinginannya bercerai dengan Ayah.

Jadi, apakah hal tersebut akan benar-benar terjadi?

Lantas aku bangkit dan berjalan mendekati pintu. Tanpa berniat menarik knop pintu, aku lebih memilih untuk menatapnya saja. Menatap dengan tatapan muram. Pikiranku kembali melayang saat Ayah memarahiku beberapa hari lalu dengan topik pembahasan tentang Fajar.

"Aku berangkat sekarang asalkan Ibu menarik kata cerai," ujarku dengan perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Kurasa udara di kamar ini menipis, membuatku harus membuka mulut untuk mengambil udara sebanyak mungkin.

Jeda sepersekian detik terdengar deheman singkat dari Ibu, "Ibu lakukan ini demi kebahagiaan kamu. Tolong mengertilah."

Ingat pertanyaanku diawal. Apakah hari ini akan ada air mata di mataku? Sepertinya ada.

"Aku sangat mengerti keinginanmu, Bu. Tapi Ibu juga harus mengerti keinginanku. Hari ini aku Ujian dan aku nggak mau ada masalah sedikitpun yang merusak pikiranku. Apa Ibu mengerti?"

Kurasa Ibu bungkam. Tidak tahu harus menjawab apa untuk melawan ucapanku. Tapi sepertinya dia mulai mengerti arah pembicaraan ini. Jadi, tanpa banyak berpikir banyak lagi langsung kubuka pintu dan berjalan cepat mendahului Ibu sebelum dia berhasil mencegah kepergianku.

"Ibu akan memikirkannya lagi!" suara itu mampir ke telingaku setelah aku sudah sepenuhnya keluar rumah. Napasku terengah-engah diikuti terpaan angin pagi yang menerbangkan beberapa helaian rambutku. Wajahku memerah karena usahaku yang tidak ingin ada air mata dihari ini.

***

Motorku sudah terparkir di parkiran. Aku berjalan bersamaan dengan murid kelas dua belas lainnya. Seperti yang kita tahu jika diadakan Ujian maka hanya kelas dua belas saja yang berangkat. Aku diam selama perjalanan menuju ruangan Ujian di lab komputer.

Namun Ujian kelulusan ini diadakan per sesi. Pagi ini dua kelas yaitu kelasku dan kelasnya Fajar dengan nomor absen 1-15 yang mendapatkan sesi pertama. Aku tahu namaku tidak termasuk absen tersebut. Alasannya aku ingin melihat Fajar sebelum dia pulang setelah selesai mengerjakan Ujiannya.

"Zella," aku menghentikan langkahku kala mendengar namaku dipanggil seseorang.

Kulihat Kinan berjalan tergopoh-gopoh menghampiriku dengan wajah semringah.

"Lo berangkat pagi juga?" tanyanya setelah membenarkan posisi tas punggungnya.

"Cari udara segar." balasku singkat seadanya.

"Biar nggak tegang saat Ujian nanti, 'kan?"

Aku melanjutkan langkahku diikuti Kinan disampingku, "Terus lo?"

"Ah.... gue males aja di rumah sekalian bisa belajar disini."

"Udah pinter ngapain belajar?" kubalas saja ucapannya agar tidak ada kegabutan di pagi hari.

"Orang pinter belum tentu pinter dalam semua hal. Dengan belajar bisa nambah pengetahuan supaya bisa tahu apa saja yang belum kita tahu."

"Kalau gue kasih pengetahuan tentang kehidupan, mau nggak?"

Kinan tampak berpikir mengenai tawaranku. Mungkin dia ingin menolak karena arah pembicaraannya saat ini tentang pelajaran yang akan diujikan beberapa hari kedepan, tetapi aku malah membahas yang lain.

"Oke."

Ternyata dia menerimanya. Kurasa dia ingin lebih dekat denganku. Misinya untuk mendapatkan aku masih berlaku rupanya.

"Apa yang paling dekat dan jauh dengan kita?"

Lagi-lagi Kinan berpikir. Salah satu tangannya mengusap tengkuk berulang kali. Sorot matanya fokus menatap kedepan. Entah apa yang dia pikirkan.

"Yang paling dekat adalah kematian dan yang paling jauh adalah kepastian."

Aku tersentak oleh suara itu. Suara yang amat kurindukan. Suara yang selalu gaduh didalam hatiku.

Fajar.

Baru saja dia menjawab pertanyaan yang kuberikan untuk Kinan. Lantas aku memutar tubuhku dan Fajar sedang disana, berdiri tanpa ekspresi dengan tangan yang dimasukan kedalam saku jaket jeansnya.

Hm, dia masih memakai jaket itu.

"Gue tunggu lo sampai pulang."

Aku tidak tahu Fajar berkata itu untuk siapa karena pandangannya tertuju pada arah lain. Kemudian tanpa sepatah katapun dia pergi meninggalkan kami berdua dengan pikiran masing-masing.

-<<<FAJAR>>>-

Hai epribadehhh~

Maap y saya lama bet gk apdet h3h3

Gatau krn setan apa sampai sampai saya jadi suka game ml skrg. Tapi tibatiba gamenya eror cuy mungkin saya disuruh berhenti biar ngelanjutin ni cerita😒alhasil saya unistal tu apk bodoamat udh kesel saya sm tu apk:/

Eh ko saya curhat ttg ml disini yak'-'

Maap y sekali lagi:*

Btw saya udh hadirin bang Fajar ye meskipun dikit ea awokwowk:v besok besok lumayan de janji h3h3
Yauda smpe disini dlu ea bay

Jangan lupa vote n comentnya geng:*

FAJAR [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang