BAGIAN ENAM

32 4 0
                                    

TERNYATA bukan hanya orang-orang di kelasku saja yang bergosip ria perkara bubarnya Dirma dengan Maura dikarenakan aku. Begitulah sekiranya yang dapat kudengar lewat telinga ini. Inipun belum seberapa dari kalimat aslinya yang pasti aku sendiri tidak kuat untuk mengatakannya.

Saat ini aku butuh penenang. Fajar? Tidak mungkin. Sekarang kedua kakiku sedang menuju ke arah kantin dimana nantinya uang sakuku akan kuhabiskan untuk menenangkan pikiran. Tidur? Bukanlah saat yang tepat. Akan aku lakukan ketika di rumah saja. Tidur yang tepat dapat menciptakan kenyamanan dan bisa membuat pikiran kalut segera larut.

"Mbak, buatin nasi goreng sama sosis bakarnya dua terus segelas jus jambu. Aku tunggu ya!" seruku tak sabar menyantap makanan paling favorit tersebut.

Setelah memesan dengan cara berteriak dan tidak memperdulikan terganggunya manusia disekitar, aku memilih tempat duduk yang kosong dan ada dipaling sudut. Sudahlah tidak masalah selagi nyaman, apa salahnya? Lagipula jauh dari gangguan, bukan?

Selagi menunggu, kuambil ponsel yang tersimpan disaku rok. Antara ingin mengaktifkan data seluler atau tidak, aku kebingungan sendiri. Bagaimana kalau pesan dari Fajar malah menghilangkan nafsu makanku? Oh tidak! Aku memilih untuk membuka YouTube. Ada beberapa video yang sudah aku download, otomatis bisa dilihat secara offline.

Keseriusanku menonton video tersebut sampai tidak membuatku sadar akan kehadiran seseorang didepanku.

"Lala..."

Tak perlu ditebak, panggilan itu hanya diucapkan oleh Fajar saja. Mau apa dia kemari? Dan aku baru sadar, untuk pertama kalinya dia menghampiriku setelah lima bulan berpacaran. Aku tidak menganggap pertemuan di hari valentine itu karena jika diingat sangatlah menyakitkan.

"Iya," jawabku seadanya. Percayalah aku tidak peduli dengan ponselku meski mataku sedang menatapnya, aku sedang menunggu akan berkata apa Fajar saat ini.

"Kok nggak dibalas chat gue hm?" tanyanya lembut, hatiku bergetar mengikuti irama yang Fajar ciptakan didalam suara merdunya.

"Penting buat kamu? Kalau penting aku balas."

Aku mendengar Fajar membuang napas jengah.

"Penting banget."

"Oke."

Jika suara hati dapat didengar, maka saat ini hatiku sedang tertawa mencemooh Fajar yang ternyata bisa lumpuh oleh ketiadaan aku di whatsappnya.

Saat kubuka pesan dari Fajar semalam, tiba-tiba muncul ide yang cukup cemerlang. Entah kenapa aku geli dengan ide gilaku. Tapi aku ingin mencobanya dan bagaimana reaksi Fajar setelahnya.

"Apa yang lo rasa itu nggak sebanding dengan apa yang gue rasain saat lo lebih dekat sama Dirma dari pada gue. Inilah alasan gue nggak pernah mau nemenin lo. Gue tau kalian dekat juga udah lama, kita pun pacaran masih baru. Tepat! gue kalah, La."

Aku melirik kearah Fajar yang sibuk memainkan ponselnya. Dia tampak tenang meski dia tahu aku sedang membaca pesannya dan bisa didengar oleh orang yang berjalan melewati kami.

"Seharusnya gue nggak usah bilang ini ke lo karena lo aja nggak bisa jauh dari Dirma. Setidaknya gue nggak mau hancurin pertemanan kalian."

Jujur saja, ketika aku membaca pesan kedua dari Fajar, hatiku sangat sesak. Yang awalnya berniat untuk bercanda tetapi rasanya tidak pas jika di situasi yang seperti ini.

Pesan ketiga pun mulai kubaca, "Sekarang terserah lo mau ambil keputusan yang bagaimana gue hargain. Gue nggak melarang lo dekat sama siapapun karena gue belum punya hak untuk itu, masih sekedar pacar dan gue sadar."

FAJAR [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang