BAGIAN DELAPAN BELAS

18 3 0
                                    

PINTU kamar telah terkunci. Jantungku berdetak kencang. Bagaimana kalau setelah ini Ayah akan mengintrogasiku? Aku tidak sanggup.

TOK

TOK

Aku menoleh terkejut mendengar suara ketukan pintu yang sangat keras itu. Aku yakin pelakunya pasti Ayah.

"Buka pintu, Zella."

Sesuai dugaan, itu suara Ayah. Jantungku semakin berdetak kencang. Bahkan kakiku gemetaran saat memijak lantai. Dan tanganku sudah menarik knop pintu, kutatap wajah Ayah yang terlihat sedang menahan marah.

"Siapa tadi?"

"Kenapa pulang sama cowok?"

"Apa dia cowok yang pernah Ayah pukul?"

"Benar, Zella?"

Pertanyaan Ayah yang begitu banyak membuatku menghela napas gelisah. Harus kujawab apa sekarang? Tubuhku mati rasa setelah berhadapan dengan Ayah.

"Iya," sialnya aku tidak bisa membohongi Ayahku sendiri. Hatiku begitu berat untuk melakukannya.

"Kamu masih berhubungan dengannya?" tanyanya semakin menekan setiap kalimat yang diucapkan.

Hampir setengah tahun kami berhubungan.

"Iya,"

"Tatap mata Ayah, apa benar dia pacar kamu?"

Aku menghirup udara sebanyak mungkin dan perlahan wajahku mendongak untuk menatap tepat di manik hitam milik Ayah.

"Iya, Fajar pacarku, Ayah." jawabku pelan tapi tetap berusaha untuk bersikap tenang.

PLAK!

Aku hampir terjungkal ke belakang kalau saja Ayah tidak menahan lenganku kuat. Tapi sakit sekali rasanya harus kembali merasakan ini. Merasakan kemarahan Ayah yang tidak pernah setuju akan hubunganku dengan Fajar.

"Seorang laki-laki nakal yang tidak tahu aturan bertamu ke rumah perempuan saat malam hari. Seorang laki-laki bobrok yang membuat kamu pergi ke clubbing, apakah pantas dijadikan pacar? Apa kamu waras?!"

"Hiks," entah kenapa responku hanya mengeluarkan suara tangis yang tertahan.

"Kamu masih remaja saja sudah melakukan hal paling fatal, apalagi saat dewasa nanti. Kemungkinan akan hamil, hamil diluar nikah!"

DEG

Tega sekali perkataannya. Tidak ingatkah Ayah bahwa aku anaknya, aku anak kandungnya. Seorang anak yang rapuh yang jarang diajak komunikasi, jarang dididik, jarang diberi perhatian, lalu malam ini Ayah mengeluarkan kalimat paling jahat yang pernah ada. Hatiku sangat sakit setelah mendengarnya.

"Kemarin kamu berani angkat bicara pada Ibumu tapi saat berhadapan dengan Ayah, kenapa malah diam?"

Tangan Ayah menggoyang-goyangkan lenganku kuat menambah niatku untuk menangis. Buktinya, sekarang kedua mataku sudah berkaca-kaca.

"Apa perlu Ayah menghajar laki-laki itu lagi?"

"NGGAK!" bentakku tanpa aku sadari. Aku mengumpat dalam hati telah melakukan bentakan kepada Ayahku. Karena aku tahu akibatnya akan sangat fatal untukku dan ... Fajar.

Ayah mendorong tubuhku hingga aku terjatuh diatas lantai dan punggungku menabrak kaki tempat tidurku yang terbuat dari kayu jati. Bayangkanlah bagaimana rasa sakit yang begitu menjalar diseluruh tulang punggungku.

"Kamu membela dia, Zella? Kamu membelanya?!"

Tangisanku semakin menjadi. Kedua tanganku kugunakan untuk merengkuh tubuhku yang gemetar ketakutan. Ingin rasanya aku mengucapkan sesuatu untuk melindungiku dari kemarahan Ayah yang semakin menjadi.

FAJAR [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang