TERUTAMA Ayah, aku melihat sisi keAyahannya hanya kepada Kinan saja. Sedangkan Ibu? Hm ... dia masih ingat siapa aku di rumahnya.
"Zella, kamu udah makan?" tanya Ibu lembut seraya mengulas senyum tipis.
Kami berdua sedang berada di ruang makan. Ditengah-tengah meja ada sepiring nasi goreng yang kurasa Ibu masak khusus untukku. Namun kali ini terasa sangat berbeda. Makanan kesukaanku menjadi tidak selezat biasanya.
Mengingat luka Kinan sehabis berlarian sepanjang siang masih membekas dalam ingatan. Tentang perkataan Ayah kemarin yang membuatku semakin tidak nafsu untuk menyuapkan sesendok nasi ke mulut.
Ibu melihatku cemas. Tatapannya seakan bertanya ada apa dan aku hanya menghembuskan napas sampai meniup beberapa helaian rambut yang menghalangi wajah pucatku.
"Ibu, Zella barusan buat kesalahan." aduku sesuai kenyataan yang ada. Aku tahu pasti Ibu mengerti arah pembicaraanku.
Aku masih ingat betul bagaimana Kinan jatuh karena ketidaksengajaan aku mendorongnya, saat itu aku kehilangan keseimbangan tubuh dan akhirnya aku tidak bisa mengontrol kecepatan lajuku. Kinan jatuh tengkurap. Lututnya berdarah dan aku baru sadar bahwa ada luka di dahinya. Ya, meskipun tidak separah lututnya tapi tetap saja aku paling takut dengan darah.
Ibu sedikit melebarkan matanya. Terlihat dengan jelas dahinya berkerut tajam.
"Kamu tahu itu kesalahan besar. Udah minta maaf?"
Aku mengangguk lemah, "Maaf, Bu. Nggak sengaja."
"Mau itu sengaja apa nggak tetap aja kamu yang salah. Kinan itu bocah lemah, kamu tega nyakitin dia rupanya."
Kamu tega nyakitin dia...
Tega nyakitin dia...
Nyakitin dia...
Dia...
BRAK!
Sontak kami berdua terkejut bukan main kala dengan kerasnya Ayah membuka pintu kamarnya sembari menampilkan wajah gelisah.
"JANGAN MEMBOHONGIKU!!"
"Hiks... Iya, Mas. Ini terlalu mendadak."
Dapat kudengar suara seorang wanita didalam telepon. Kurasa suara itu tidak asing. Ah, ya! Itu suara Tante Andin.
Perlahan aku bangkit berdiri menghampiri Ayah yang terengah-engah. Aku memanggilnya ingin meminjam telepon sebentar guna menanyakan keadaan Kinan pada Tante Andin.
PLAK!
"MAU APA KAMU? NANYA KEADAAN KINAN?!" Ayah membentakku dengan suara amat kencang, sukses menyiksa gendang telingaku. Lantas kututupi rapat telinga ini. Mundur beberapa centi agar tangan besar Ayah tidak menyiksa wajahku lagi.
Tanpa bisa kutahan lagi, air mata sudah merembes sempurna mengenai pipi. Apa salahnya aku menanyakan Kinan pada Tante Andin? Kenapa Ayah sampai semarah itu padaku?
"GARA-GARA KAMU ... GARA-GARA KAMU KINAN MENINGGAL!"
DEG
"Kenapa kamu marah sama Zella, Mas?!" Ibu mulai mendekapku sambil membalas bentakan Ayah.
Keadaan maksiat pun terjadi lagi. Aku tenggelam dalam pelukan Ibu tapi percayalah telingaku masih bekerja untuk mendengar suara teriakan yang saling menyahut kejam.
Tapi, apa tadi? Kinan meninggal?
Tidak mungkin! Tidak mungkin hanya karena terjatuh bisa sampai membuatnya meninggal. Luka yang dialami dia pun tidak memungkinkan seseorang bisa meninggal.
"KAMU MANUSIA PALING BURUK, ZELLA!"
"Hah!"
Mataku terbuka lebar. Nafasku tidak beraturan diikuti jantung yang berdegub kencang. Tubuhku gemetaran.
Ada dimana aku?
Aku menyusuri setiap sudut ruangan yang tengah mengurungku ini. Eh, aku masih di rumah sakit? Lalu tadi itu apa? Sepertinya aku baru saja mengalami mimpi buruk.
Lalu mendadak Ibu berjalan tergopoh-gopoh menghampiriku. Membelai rambutku penuh perasaan. Aku dibuat tersentuh oleh sikap lembutnya.
"Kenapa?"
Aku menggeleng lemah, dengan segera aku menepis tangannya yang masih setia diatas kepalaku.
"Aku mau pulang,"
"Dokter belum izinin kamu pulang," balas Ibu mencemaskan keadaanku. Kulihat wajahnya begitu lusuh apalagi kedua matanya sembab sekali.
"Aku mau pulang,"
"Zella--"
"Besok senin Zella ujian, Bu!"
Ibu tersenyum masam mendengar teriakanku. Tidak bisa menolak keinginanku pada akhirnya dia memanggil Dokter dan membicarakan soal kepulanganku. Dengan berbagai alasan Ibu, aku diperbolehkan pulang dengan syarat tetap harus banyak istirahat. Aku mengangguk mengerti dan mulai keluar dari rumah sakit bersama Ibu.
Ketika sudah sepenuhnya keluar, aku melihat seseorang yang tidak begitu asing tengah melambaikan tangannya ke arahku. Dia berjalan menghampiri kami seraya tersenyum simpul.
"Udah sehat, kan?"
"Ngapain lo kesini?"
"Husst! Jangan gitu, Zel. Dia nemenin kamu selama pingsan kemarin."
Apa? Dirma menemani aku selama pingsan?
"Ibu nggak tahu lagi kalau nggak ada dia,"
"Berguna juga lo,"
Dirma mendengus pelan. Tanpa mengindahkanku, dia menawarkan bantuan untuk membawa tas yang Ibu bawa selama keperluanku saat dirawat.
Kami berdua diberi tumpangan di mobilnya. Dia tampak sangat santai saat bertemu dengan Ibuku. Apakah tidak ada rasa canggung barang sedikit saja?
Ketika aku sudah menggunakan seatbelt, aku menatap Dirma yang berada disampingku yang tengah sibuk memutar stir kemudinya. Sedangkan Ibu memilih duduk dibelakang sambil tiduran. Kurasa dia kekurangan istirahat.
Hm. Aku merasa bersalah.
"Lo tahu Fajar dimana?" tanyaku berbisik pada Dirma.
-<<<FAJAR>>>-
Hai
Hai
Hai
Aku kombek hai hai haiii~
Ternyata yg muncul duluan Dirma ey:v
Gpp kan? Gpp dong kan terserah aku jg wkwk😆
Yauda jangan lupa VOMMENTNYA gaesss~
Salam, Sankhaa
KAMU SEDANG MEMBACA
FAJAR [Tamat]
Teen FictionTamat Ini kisahku dengan dia. Ini aku yang merasa asing namun diam-diam selalu dicintai. Ini kisahku dengan mereka. Ini aku yang mulai sadar bahwa aku hidup tidak sendirian. Ada mereka yang selalu berusaha menggapaiku meski aku selalu menghindarinya...