"Oh iya Pirco, besok senin kan udah ujian praktek ni terutama kan kelas drama di bahasa indonesia. Semoga aku dapat satu kelompok sama kamu."
"Siapapun kelompoknya nanti yang penting kita kompak dengan satu kelompoknya."
"Benar juga sih kamu, apalagi sistemnya kan dikocok. Gak seru."
"Ini soto dan baksonya, mbak." Orang yang menaruh dua mangkok dan minuman di meja."
"Iya terima kasih." jawab Capirco lirih.
"Kayak begitu malah lebih adil kali, kita bisa saling bersama dengan teman lainnya."
"Hem, menyebalkan."
"Udah, udah. Bakso kamu buruan dimakan, aku mau ke toilet."
"Ya udah, aku juga mau ambil tas sebentar."
Mereka yang meninggalkan sejenak tempat itu dimaanfaatkan oleh Fannya, ia yang menaruh sambal di mangkok Capirco lumayan banyak lalu mengaduknya agar tidak terlihat. Bahkan juga menukar minuman yang awalnya manis menjadi asam.
Ketika Fannya hendak berdiri sudah kepergok Dwi, hal itu membuatnya salah tingkah dan berpura-pura hanya menumpang duduk saja. Namun tidak semua dipercayainya, hasilnya dia yang terkena getahnya.
"Gue cuma mampir duduk doang, apa sih salahnya?"
"Terus aku percaya begitu aja? Enggak kali, kamu kan lelah ya sekali-kali aku traktir kamu. Kamu makan itu sotonya sama es itu."
"Eh, gak ah."
"Kenapa hayo? Jangan-jangan kau naruh racun dimakanan itu, jawab."
"Gila lo, sejahatnya gue gak bakal lakuin itu. Dasar parno pikiran lo itu, dangkal."
"Udah, sekarang kau makan sama minum itu dan dihabiskan, Kalau enggak aku sendiri yang memaksa masukan itu."
"Gue puasalah."
"Orang kayak lo gak mungkin puasa, lihat ada botol minuman lo."
Senjata makan tua bagi Fannya, ia yang memakan soto yang diberi sambal olehnya sendiri dan menukar minuman itu terpaksa dilakukannya agar seolah tidak terjadi apa-apa dengan dirinya yang sudah terlanjur kepergok.
Dwi yang terus menerus meminta untuk menghabiskan kini hanya sisa sedikit, tak lama kemudian Capirco menanyakan sotonya dan akhirnya Fannya sudah mulai merasakan keram perut dan bolak-balik ke toilet.
"Kenapa Fannya?"
"Biarin jadi orang jangan suka usil, akhirnya senjata makan tuan bukan."
"Kenapa dia? Kasihan tahu, Dwi."
"Dia itu mau ngeracuni kamu, kamu masih kasihan sama dia?"
"Nyatanya dia baik-baik saja, lagian jangan berlebihan benci sama orang."
"Ya, maaf."
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mask and Two Sides
RandomApa kalian tahu bahwa seorang penulis itu tidak hanya mengandalkan imajinasinya? Atau mengapa seorang bisa menulis meski tidak mengandalkan imajinasinya? Dan lalu kapan kita bisa dikatakan sebagai penulis? Semua jawaban itu ada, sebuah imajinasi bis...