Penilaian ujian lari itu telah dimulai ketika peluit panjang telah berbunyi, selama itu juga Fannya terus meledek Capirco tiada hentinya. Tak sedikitpun kata-kata yang keluar telah dipedulikan, namun nafasnya kini semakin begitu cepat.
"Fan, tolong aku."
"Namanya juga lomba untuk merebutkan Tegar."
"Tolong Fan."
"Itu urusan kamu, malahan aku harap kali ini kau akan mati."
"Aku tidak akan takut kematian selama aku benar dihadapan-Nya, baik kamu meminta aku untuk menyelesaikan ini semua dan merebutkan Tegar bukan?"
"Ya jelas, lagian lebih sempurna aku. Dari secara kecantikan akulah yang paling cantik, secara kekayaan aku juga punya uang banyak daripada kamu udah kurusan, cacat, gak punya uang, anak kere, dan pastinya jelek."
"Kesempurnaan bukanlah milik seorang yang dipandang dari harta maupun takthanya di dunia, melainkan dipandang dari segala akhlak yang mulia kepada Tuhannya maupun sesamanya."
"Gak usah pakai kata-kata puitis, sekarang kita mulai. Ingat, siapa yang menang dia yang akan menjadi kekasih Tegar seumur hidupnya dan yang kalah bakal nurutin apapun yang menang."
"Baik, aku setuju."
Capirco dan Fannya terus berusaha berlari sekuat-kuatnya, meskipun nafas sudah terelakan meminta untuk beristirahat namun mereka jutsru meneruskan tidak pandang bulu bagaimana keadaan mereka nantinya. Tiba-tiba saja pinggang Fannya nampak sakit, dan dada Capirco sakit dan membuat mereka terhenti sejenak.
"Kamu gak papa Fan?"
"Bukan urusan kamu."
"Tapi Fan, kamu terlihat sangat pucat sekali."
"Sudahlah, gak usah urusin aku."
"Ya udah, aku gak ngurusin. Kalau ada apa-apa bilang ya, soalnya masih jauh."
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mask and Two Sides
RandomApa kalian tahu bahwa seorang penulis itu tidak hanya mengandalkan imajinasinya? Atau mengapa seorang bisa menulis meski tidak mengandalkan imajinasinya? Dan lalu kapan kita bisa dikatakan sebagai penulis? Semua jawaban itu ada, sebuah imajinasi bis...