Bel berbunyi begitu keras sebagai petanda satu jam lagi ujian nasional selesai, sesuai hukuman yang diberikan Fannya keluar lebih dahulu. Dia tidak bisa mengelak dan akhirnya mengerjakan dengan sembarangan tanpa berpikir terlebih dahulu.
Selesai dari situ dia terduduk termenung di bangku panjang depan jendelan kelas, Fannya yang tertawa kecil membuat teman-teman sekelasnya keheranan dan ketika salah seorang guru mencoba bertanya.
"Loh Fannya udah lebih dulu keluar, memang pertanyaannya mudah ya?" Guru itu malah justru tidak menahu akan apa yang terjadi pada Fannya "Ditanya bukannya menjawab malah diam aja, dasar ya murid sekarang lebih asyik main hp ketimbang belajar."
Setelah satu jam berlalu semua murid mengumpulkan soal sekaligus jawaban kepada pengawas, Capirco yang terakhir justru mendapatkan pemerhati "Memang teman kamu itu tadi kenapa sih sampai dendam? Ya semoga aja gak ada kejahatan lain lagi."
"Gak papa kok pak, palingan juga dia iseng. Ya sudah pak, saya duluan." Capirco yang keluar tiba-tiba melihat Fannya yang terduduk begitu berbeda, Dita yang juga sahabatnya itu terus berusaha mengajak bicara tak ada sepatah kata ataupun huruf tidak di jawab.
"Fannya gak biasanya sih dia begitu, apalagi kelakukannya di ruang kelas tadi dan sekarang ini juga cara dia duduk sampai segala pertanyaan dari pak guru ataupun Dita juga tidak direspon sama sekali."
"Pirco." Dwi yang mengejutkan Capirco sedikit membuat terkejut, bahkan kini mereka berdua melihat kelakuan Fannya.
"Aku merasakan jika ini bukan Fannya."
"Jangan-jangan Fannya kesambet."
"Ngawur kamu itu Dwi, jangan begitulah. Tapi benar juga, coba kita ke sana."
Merekapun berjalan menuju tempat Fannya terduduk diam, dan dugaan Dwi ternyata benar ketika Capirco yang memegang tangan Fannya seakan terbakar.
Capirco yang merasakan Fannya terbakar hebat mencoba berusaha berdoa untuk mengeluarkan apa yang ada dalam diri sahabatnya, dan akhirnya keluar dan Fannya tidak sadarkan diri begitu cukup lama.
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mask and Two Sides
AcakApa kalian tahu bahwa seorang penulis itu tidak hanya mengandalkan imajinasinya? Atau mengapa seorang bisa menulis meski tidak mengandalkan imajinasinya? Dan lalu kapan kita bisa dikatakan sebagai penulis? Semua jawaban itu ada, sebuah imajinasi bis...