Ketika tidak sadar dan dibawa ke UKS dering ponsel melalui saku Fannya, salah satu guru meminta Capirco mengambil lalu mengangkatnya.
Capirco tidak pernah menyangka jika yang menelpon ialah Tegar, bahkan tidak sedikitpun jawaban terlontar kembali.
"Siapa Pirco?"
"Bukan siapa, bu. Soalnya langsung dimatikan, kalau ibu mau pulang gak papa biar Capirco sama Dwi yang menunggu disini."
"Beneran gak papa? Terus nanti Fannya pulang dengan siapa? Bukankah kalian naik sepeda mini ya?"
"Gak papa kok bu, lagian Fannya itu juga udah seperti saudara kita sendiri. Coba nanti Dwi telepon orang tuanya siapa tahu kesini bisa menjemput Fannya, lagian juga kita sahabat bu."
"Ya sudah ibu pamit dulu."Guru sudah pulang semua namun Fannya belum juga sadar, Dwi yang mengira bahwa ia hanya berpura-pura tiba-tiba saja Tegar datang dengan keadaan di kursi roda.
"Ngapain kalian disini? Sekarang kalian pergi?"
"Eh mas, sadar ya kamu itu pa-" Belum sempat melanjutkan kata-katanya Capirco sudah menghentikan begitu saja dan menarik keluar dari ruangan tersebut.
"Apaan sih kamu bilang begitu?"
"Pirco, biarkan aku mencoba memberitahu semuanya. Aku gak mau mas Tegar dimanfaatkan Fannya begitu saja, memang dia belum ingat apa-apa tapi aku ingin membantu kamu."
"Dwi, aku tahu kebaikan kamu tapi aku mohon tidak seperti itu."
"Lalu bagaimana? Apa sampai menunggu Fannya memanfaatkan situasi itu? Atau sampai mas Tegar menikah dengan Fannya?"
"Cukup Dwi, jangan buat aku pusing. Aku gak mau saja mas Tegar semakin sakit cuma gara-gara aku yang berusaha mengembalikan ingatan dia cuma itu aja, aku mohon mengertilah."
"Baiklah." Dwi yang meninggalkannya begitu saja lalu membuat Capirco menangis dan berakhit dengan pulang sendiri.
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mask and Two Sides
NezařaditelnéApa kalian tahu bahwa seorang penulis itu tidak hanya mengandalkan imajinasinya? Atau mengapa seorang bisa menulis meski tidak mengandalkan imajinasinya? Dan lalu kapan kita bisa dikatakan sebagai penulis? Semua jawaban itu ada, sebuah imajinasi bis...