bab 2

25 5 9
                                    

••
Alunan musik yang indah itu, tidak hanya dari alat musik yang dia mainkan, tapi juga dari wajahnya.
••

Upacara selesai. Anak-anak berhamburan menuju kelas lamanya untuk mengambil tas. Aku juga buru-buru karena pasti akan desak-desakan, dan aku tidak bisa bernafas karena tubuhku yang terbilang pendek.

Aku berhasil mengambil tas. Turun bersama kedua temanku, mengantar Naura terlebih dahulu karena kelasnya dekat tangga. Lalu aku dan Via berusaha menerobos kerumunan orang yang sedang mencari namanya. Aku benci ini—sumpek dan yang jelas aku selalu kalah karena pendek.

Aku dan Via mencari nama kami dari urutan kelas belakang—dari 9I. Kami belum menemukan nama kami dan tersisa dua kelas—9A dan 9B. Harapanku besar. Aku bergegas menyempil diantara kerumunan untuk mencari namaku. Dan benar, namaku ada disitu, aku mendengus lega—tapi tidak sebentar karena aku tidak menemukan nama Via. Shit- umpatku dalam hati.

Via ada di kelas terakhir pencarian kita, 9A. Aku tidak tahu harus bersama siapa, aku masuk kelas dengan linglung. Aku berseru tertahan karena melihat teman kelas 7-ku, tapi tak berapa lama aku kembali sedih karena dia sudah punya teman sebangku.

Aku pasrah dan mencoba mencari-cari tempat yang kosong. Saat itu, aku melihat teman yang tidak terlalu dekat denganku tapi setidaknya kenal denganku. Ah mungkin tidak buruk bersamanya, pikirku.

"Woy Jessi," panggilku pura-pura akrab, "Sudah ada teman duduk?"

Dia menggeleng. Lalu aku dengan cepat menarik tangannya ke tempat duduk yang tadi aku lihat kosong, "Sama gue aja ya, gue juga belum ada teman," ajakku.

Dia mengangguk dan ya, tidak terlalu lama untuk kami menyesuaikan diri—mungkin karena kita sama-sama sok akrab.

Hari-hari mengalir begitu saja walau kadang-kadang tersedak karena menyesuaikan diri dengan teman baru tidak semudah itu bagiku. Apalagi di kelasku ada anak famous yang bisa dibilang suka cari sensasi—tapi ternyata mereka tidak seburuk yang aku pikirkan.

Mungkin orang akan berpikir bahwa aku adalah anak yang mudah menyesuaikan diri, nyatanya tidak. Di dalam diri sendiri aku berjuang mati-matian agar tidak canggung dengan orang lain. Apakah perkataanku aneh? Aku harus merespon seperti apa? Atau terlalu berlebihan? Dan jelas pertanyaan itu menyebalkan sekali.

🔰🔰

Beberapa bulan kemudian setelah kenaikan kelas.

Hari itu guru SBK ku mengumumkan akan ada test solo vocal di kelas. Walau suaraku lumayan bisa diajak kerjamasama, aku tetap sedikit khawatir—karena tragedi masalaluku disaat aku memutuskan nyanyi di depan banyak orang dan suaraku hancur, lalu ditertawakan oleh satu angkatan bahkan guru-guru. Itu memalukan sekali.

Guru SBK ku memperbolehkan menggunakan alat musik. Aku bisa bermain gitar, tetapi karena takut suaraku jadi berantakan, aku urung menggunakannya.

Ada beberapa temanku yang menggunakan alat musik. Salah satunya adalah seorang pria yang sedang bermain gitar dan duduk dikelilingi oleh dua temannya.

Wajahnya damai, seakan main gitar bukanlah masalah. Matanya tak teralihkan sedikitpun. Tangannya mengelus lincah senar gitar. Suaranya nyanyiannya sesekali keluar dibantu oleh teman-temannya. Alunan musik indah keluar dari petikannya. Kedua ujung bibirnya terangkat anggun.

Manis sekali, kenapa aku baru sadar punya teman semanis ini?

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang