Kami masuk ke cafe itu, aku membuka pintu dengan satu tangan karena satunya lagi masih menggandeng Devan. Kucing-kucing yang berada di karpet hijau terpisah dengan tempat kami barjalan itu, sudah mengeong-ngeong mengajak bermain.
"Kamu mau pesan apa dulu?" tanya Devan padaku.
"Ah ga us-,"
"Mba, es kopi susunya dua sama es krim chocolatenya satu ya," ucapnya pada pelayan itu, sembari melepas tanganku dan membayarnya. Lagi-lagi dia tidak ingin mendengarku.
Setelah selesai, dia membawa pesanannya ke meja di karpet hijau tempat kucing-kucing itu, menarik bangku, dan duduk disana. Sedangkan aku heboh bermain bersama kucing.
"Ra, es krimnya dimakan dulu. Nanti keburu cair," ucapnya padaku.
"Nanti saja, kalau perlu buat kamu saja," jawabku.
Dia mendekatiku yang sedang bermain kucing, lalu menyuapi es krim coklat ke dalam mulutku. Aku tidak menolaknya—es krimnya enak juga. Setelah habis, dia kembali ke kursinya.
"Kamu ga mau mainan sama kucing?" tanyaku.
"Ga mau, ah," jawabnya.
Aku hanya mengangkat bahu, mungkin dia tidak suka. Tapi setelah beberapa saat, aku meliriknya lagi. Dia sudah duduk di bawah meja sambil mengelus-elus bulu kucing.
"Katanya ga mau," godaku sambil tersenyum jahil.
Wajahnya merah karena merasa terciduk. "Emang ga mau, kucingnya aja yang deketin, masa aku tendang."
Aku mendekatinya, menyuruhnya menggendong kucing itu, lalu menyuruhnya berdiri dan menariknya ke tempat kucing lain berkumpul.
"G-gimana cara gendongnya?" tanyanya dengan wajah polos.
Aku membantunya dengan menggendong kucing itu terlebih dahulu, lalu menaruhnya di dekapan Devan. Dia pura-pura tidak suka, tapi aku tahu dia senang. Aku menarik lengannya untuk duduk di antara banyak kucing yang sudah menunggu. Dia melepaskan kucing di gendongannya, lalu mengelus-elus kucing lain.
Aku memperhatikannya. Menggemaskan sekali pemandangan kali ini. Wajah polosnya ini terlihat sangat bahagia.
"Dicium dong kucingnya," ucapku padanya.
"Harus banget, Ra?"
"Ya biar dia makin sayang sama kamu."
Tidak aku sangka, Devan menurut. Dia mengangkat kucing itu asal, lalu menciumnya. Dia tertawa kencang sekali.
"Ahahahahaha, liat deh muka kucingnya, kok kayak geli gitu ya, ahahaha," ucapnya diselingi tawa.
"Ga suka sama kamu berarti."
Ekspresinya langsung berubah, dia cemberut, lalu menaruh kucing itu lagi, lalu mengambil kucing yang lain, menciumnya, dan tertawa lagi.
"Ahahaha yang ini ekspresinya malah lucu, berarti dia suka sama aku," ucapnya menggebu-gebu.
Aku hanya meng-iyakan, lalu kembali bermain dengan kucing lain. Walau begitu, pandanganku berkali-kali jatuh ke Devan. Dia benar-benar seperti anak anjing diantara kucing-kucing.
Bayangkan betapa baiknya Tuhan padaku. Aku baru berdoa semalam, lalu pagi harinya mendapat kesialan, lalu tiba-tiba bertemu dengan orang yang ada di doaku.
Aku masih tidak berani berharap. Berharap bahwa Devan akan selalu ada di sampingku, tapi selagi dia ada di sampingku saat ini, apa salahnya aku menikmati waktu?
Aku juga bersyukur dia masih Devan yang sama-masih menggemaskan. Bedanya, Devan yang satu ini tidak cuek lagi denganku. Dia berkali-kali lipat lebih menyenangkan daripada dulu.
Bersamamu adalah waktu yang selalu aku tunggu-tunggu sampai saat ini, Devan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless [Completed]
RomanceNamaku Dhira Samantha. Banyak orang mengira hidupku baik-baik saja, nyatanya tidak. Hidupku penuh pahit, bukan karena memang semenyedihkan itu, tapi karena Tuhan tidak pernah mengizinkanku untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan. Aku bersemayan di...