bab 16

9 3 0
                                    

Aku berhasil masuk ke SMA yang aku inginkan. Jessi dan Via juga berhasil masuk ke SMA yang sama—tapi kami tidak sekelas. Aku sekelas lagi dengan Rendi, bahkan kami duduk bersama karena rolling kelas.

Aku semakin dekat dengannya. Tak jarang aku menceritakan masalahku padanya—jelas bercerita apapun aku pasti datar,dan Rendi sepertinya bisa memahami Alexithymiaku, dimana aku tidak bisa mengungkapkan perasaan dengan baik. Dia lumayan asik, tidak seperti dulu aku berpikir bahwa dia menyebalkan. Dia juga sering menjemputku untuk berangkat sekolah bersama. Bahkan banyak dari teman satu sekolah yang men-ship aku dengan dia.

Tapi hubunganku dengan Rendi tidak lebih dari sahabat, toh aku juga tidak ingin membuat penggemar Rendi di sekolah menjadi iri dan menghujatku.

"Kabar Devan gimana, Ren?" tanyaku penasaran.

Rendi hampir saja tersedak bakso yang ingin ia telan. Kami sedang berada di kantin untuk menghabiskan waktu istirahat. Sebenarnya aku tidak tertarik, tapi Rendi memaksaku, jadi ya sudah.

"Ga tau. Dia jarang ngasih kabar. Emang gitu sih anaknya dari dulu. Suka ga peduli," jawabnya, lalu melanjutkan suapannya.

"Lo pernah suka sama dia ya?" Rendi menanyakan salah satu hal yang tak pernah aku ceritakan padanya selain masalah orang tuaku.

"Ga tau. Ngapain sih nanya kayak gitu," bantahku.

"Keliatan, kali. Lo nanya kabar dia mulu, kayaknya Via sama Jessi ga tau ya?"

"Ya-yaudah! Diem aja!" Aku cemberut.

"Jangan cemberut kayak gitu, Princess. Muka lo makin kayak bakso yang gue makan," ucapnya menggodaku. "Gapapa kali ngaku aja."

"Ya kan tadi udah ngaku!"

Rendi hanya menganggukkan kepalanya dan melanjutkan makan. Aku hanya cemberut sembari memainkan handphoneku. Tak jarang, murid-murid lain menjatuhkan pandangannya pada kami. Sudah biasa.

Aku masih Dhira Samantha yang sama—yang punya penyakit Alexithymia, yang dikenal orang humoris, yang orangtuanya masih sering bertengkar. Yang berbeda hanyalah aku lebih sering merawat diri. Rasa percaya diriku mulai bangkit kembali. Tak jarang, banyak teman satu sekolah yang menembakku untuk dijadikan pacar tapi aku sudah bilang hatiku masih sama—tidak bisa menerima perasaan apapun.

Masa-masa SMA-ku setidaknya jauh lebih baik dibandingkan SMP. Hanya saja aku tidak menemukan seseorang yang bisa menggantikan Devan di hatiku.

Aneh. Bicara dengannya saja jarang, tapi bisa-bisanya pria itu menyita seluruh hatiku. Membuatku tak pernah melupakannya, walau berkali-kali aku mengelak fakta itu.

Aku merindukannya, dan seterusnya akan selalu merindukannya.

(σ≧▽≦)σ

Hi! Terima kasih sudah membaca sampai sejauh ini 🙏

Maaf kalau bab kali ini pendek❤

Salam kenal🙌

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang