Hari ini, kelas berjalan seperti biasanya. Walaupun aku adalah orang yang malas mendengarkan dosen, namun aku tak pernah bolos mengumpulkan tugas. Itu yang membuat nilaiku baik-baik saja sampai saat ini.
Jalanku menuju keluar kampus, biasanya melewati kelas Devan terlebih dahulu. Karena penasaran, aku mencoba mengintip kelasnya. Dia masih disana, membenamkan wajahnya di tas yang berada di mejanya. Aku mencoba mendekatinya, dan duduk di bangku depannya.
"Dhira."
Dia memanggil namaku. Aku tidak mengerti kenapa dia bisa sadar aku ada disini. Padahal sejak tadi, aku berusaha untuk tidak bersuara.
Dia mendongakkan kepalanya—untuk menatapku, dengan rambut yang acak-acakan tetapi dengan wajah yang lebih segar daripada kemarin. Tiba-tiba dia menarik tangan kananku, dan menaruhnya di pipinya serta menjadikannya bantal untuk tidur kembali.
"Lebih hangat pakai tanganmu," ucapnya sambil tetap memejamkan mata.
Aku tidak tahu harus merespon apa. Jantungku berdegup lebih kencang—aku berharap dia tidak mendengarnya.
"Kamu masih sakit?" tanyaku.
"Aku ga akan sakit, kalau kamu ada disini."
Tangan kiriku mengacak rambutnya gemas. Dia selalu bisa membuat perkataan manis seperti itu. Walau aku tidak tahu, dia sadar atau tidak mengucapkan perkataan manis tersebut.
"Nanti gerbang ditutup, kamu ga mau cepat pulang? Istirahat, Devan," kataku padanya.
Dia mendongakkan kepalanya lagi, tapi masih memegang tanganku di pipinya, tanpa berniat melepaskannya.
"Dhira mau temenin Devan pergi beli cat air, ga? Cat air di rumah udah mau habis," katanya.
Aku memikirkan tentang apa jadwal yang aku lakukan hari ini. Setelah berpikir keras, ternyata hari ini aku kosong dan tugasku hanya sedikit. Aku lantas mengangguk kepadanya.
Dia merubah posisi tanganku yang ada di pipinya menjadi dia menggenggam tanganku untuk menggandengnya. Kami berjalan keluar kelas. Tak jarang, aku dengar beberapa wanita yang mungkin menjadi fans berat Devan membicarakanku. Aku tidak peduli, toh juga Devan yang menggandengku duluan. Sampai kami tiba di depan gerbang.
"Buset! Udah gandengan aja." Tiba-tiba Rendi muncul di depan kami tanpa turun dari motornya.
"Ganggu lo," ucap Devan.
"Kenapa kesini, Ren?" tanyaku padanya.
"Ga-ga, ga ganggu kok, cuma mau balikin ini flashdisk ke Dhira," ucapnya. "Nih Ra, makasih ya." Rendi memberikan flashdisk yang dia pinjam beberapa hari lalu kepadaku—katanya, dia malas membeli flashdisk hanya untuk tugas, jadi dia meminjam padaku.
"Ra, Devan dari dulu bilang kangen mulu sama lo, tau." Rendi menggoda Devan lalu buru-buru menancapkan gasnya karena melihat Devan yang sudah mengepalkan tangannya.
Devan menunduk di sampingku, telinganya terlihat merah—mungkin dia malu.
"Udah ga usah didengerin, ayok berangkat!" katanya sambil menarik tanganku untuk berjalan ke parkiran.
Selama perjalanan aku hanya tersenyum kecil melihat wajah Devan yang masih cemberut di spion. Rendi memang pintar menggoda orang lain.
Kami tiba di sebuah toko yang dindingnya terbuat dari kayu yang terlihat kokoh. Papan di atas toko itu bertuliskan 'Potentiarte' menambah kesan klasik di toko itu. Kami masuk dan beberapa karyawan mengucapkan selamat datang.
Aku terkejut karena cat air, kanvas, kuas, dan alat melukis atau menggambar sangat lengkap disana. Disusun berdasarkan rak yang membuat kita mudah mencarinya. Aku melihat label harga, dan benar, alat-alat disini memang mahal. Di ujung ruangan terdapat dinding yang terdapat lukisan dengan terpajang cantik disana. Aku mendekatinya. Benar-benar cantik sekali.
Devan menghampiriku—niatnya dia ingin minta pendapat untuk beli alat yang mana, tapi dia malah diam berdiri di sampingku.
"Dhira suka lukisan yang ini?"
Aku mengangguk, lalu berkata, "Pantas saja lukisan ada yang sampai ditaruh di museum. Selain berisi perasaan, ternyata alat-alatnya juga mahal."
"Lebih mahal lukisan yang isinya perasaanku untukmu, Ra."

KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless [Completed]
RomanceNamaku Dhira Samantha. Banyak orang mengira hidupku baik-baik saja, nyatanya tidak. Hidupku penuh pahit, bukan karena memang semenyedihkan itu, tapi karena Tuhan tidak pernah mengizinkanku untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan. Aku bersemayan di...