bab 45

5 2 0
                                    

Aku tersontak kaget, lalu mencoba memastikan bahwa yang dikatakan Rendi bohong.

"Kecelakaan? Ini bukan waktunya bercanda Rendi."

"Muka gue kelihatan bercanda?" ucapnya dengan nada yang sedikit meninggi.

Aku terduduk. Rasa sakit yang menjalar ditubuhku sedang mencari-cari mana yang harus disakiti terlebih dahulu. Mataku panas, aku menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat. Mana mungkin? Mana mungkin, Tuhan? Rasa sakit menjalar ke kepalaku. Memakan semua pikiran dan menggantinya dengan rasa sakit. Ini membuatku pusing.

"Dia koma, Ra. Ayo kerumah sakit."

🔰🔰

Aku berlari di lorong-lorong rumah sakit. Tidak peduli, menabrak seseorang atau tidak. Pikiranku sudah begitu gelap. Aku sampai di depan kamarnya, melihat Mamah Devan menangis histeris. Aku mendekatinya, lalu tiba-tiba dia memelukku erat sekali.

"Anakku koma, Dhira," ucapnya masih terus menangis.

Air mataku mulai turun semakin deras. Rasa sakit yang dirasakan wanita ini seakan pindah semua kediriku.

"Dia kecelakaan ketika hendak membeli kado untukmu."

Mataku membesar, tanganku bergetar, dan kakiku lemas sekali. Aku terjatuh di lantai karena tidak mampu menahan tubuhku. Jadi semua ini karenaku? Devan kecelakaan dan koma karenaku? Rendi membantuku berdiri, lalu memberiku minum.

Aku menatap sekitar seperti orang yang linglung. Tangisanku tidak berhenti, aku berteriak, "MAAFKAN AKU!" Lalu berlari ke kamar Devan.

Aku melihatnya terbaring disana, dengan kabel-kabel yang memenuhi tubuhnya. Tidak bergerak, apalagi menyapaku seperti biasanya. Seseorang yang aku sayangi ini terbujur lemah.

Aku mendekatinya, melihat wajahnya. Bibirnya pucat dan tidak ada senyuman disana. Kondisinya jauh lebih parah daripada saat dia demam dulu. Aku mengelus pipinya. Tak jarang air mataku jatuh ke bajunya. Tak menyangka semuanya terjadi begitu cepat.

"Devan," panggilku lirih. "Aku disini."

Aku memeluk tubuhnya, mencium pipinya berkali-kali, berharap mendapat respon darinya.

"Devan bangun," ucapku sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya pelan.

"Devan."

"Devan!"

"DEVAN!"

Rendi menarik tubuhku pelan dari belakang. Aku menghepaskan tangannya—tidak ingin diganggu.

"Devan sayang, bangun."

Aku hancur. Merasa bahwa semuanya adalah salahku. Aku merasa bahwa aku hambir membunuh malaikatku sendiri. Membunuh satu-satunya kebahagiaanku. Membunuh satu-satunya kehidupanku. Aku berlulut di samping ranjang. Menutup wajahku dengan kedua tangan. Meredam teriakkan histerisku.

Pagi tadi aku masih bersenang-senang, memikirkan hal yang bisa aku lakukan bersamamu. Dan sore ini. Sore ini aku malah melihatmu tidak sadarkan diri seperti ini.

Aku terus-terusan memandang wajahnya dengan tatapan kosong, tangan yang masih bergetar, dan wajah yang sudah tidak karuan bagaimana basahnya karena air mata.

"Dhira." Mamah Devan memanggilku.

Aku menoleh kearahnya dengan wajah ketakutan. Harusnya wanita ini membenciku, bukan? Aku hampir saja membunuh anaknya.

Dia mendekatiku, lalu memelukku.

"Aku hampir membunuh anakmu," ucapku pelan tanpa membalas pelukannya.

"Aku kecewa karena fakta itu benar, Dhira," ucapnya, lalu melanjutkan, "Tapi bagaimana aku bisa membencimu, sedangkan anakku sangat menyayangimu?"

Aku membalas pelukannya erat sekali. "Maafkan aku tante. Maafkan aku. Maaf. Maaf, tante," ucapku berkali-kali.

"Iya Dhira, tidak apa-apa. Devan sangat-sangat menyayangimu. Dia pasti akan kecewa kepadaku jika aku memarahimu. Bahkan aku masih mengingat wajahnya ketika kamu mengabari akan kesini. Aku bahagia melihat dia sebahagia itu."

"Tapi kamu benar-benar pantas membenciku. Aku hampir membunuh anakmu. Bahkan kita tidak pernah tahu, kapan dia akan sadar."

Seharusnya aku yang menenangkan wanita ini, tapi sekarang malah wanita ini yang menenagkanku. Dia sama malaikatnya seperti Devan. Seorang ibu paling kuat yang aku kenal.

"Tante," panggilku.

"Iya?" dia menjawab, masih sambil memelukku.

"Anak tante malaikat."

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang