bab 23

6 2 2
                                    

Aku melepaskan pelukanku. Aku mendongak, lalu terkejut karena dugaanku benar. Itu Devan, berdiri di depanku, dan baru saja memelukku. Dia menatapku, aku tak mengerti maksud tatapannya. Tapi tak berselang lama aku mendapat jawaban—bukan karena dia bicara, tapi karena dia tersenyum.

Kami duduk disalah satu bangku— setelah Devan membantuku membereskan barang-barangku.

Dia masih menatapku. Tiba-tiba tangannya terjulur, mengambil helai rambutku lalu menyelipkannya ke belakang telinga. Aku tersipu.

"Kamu masih sama kayak dulu, ahaha," ucapnya.

"Kenapa?"

"Ceroboh," jawabnya sambil tersenyum.

Aku reflek mencubit lengannya. "A-aw, ampun," ujarnya. Dia masih lanjut tertawa. Jujur saja mungkin wajahku merah saat ini.

Aku memperhatikannya, terasa familiar dengan topi yang ia kenakan, lalu aku tersadar.

"K-kamu! Yang waktu itu nyelamatin aku di kampus ya?" tanyaku padanya.

Devan mengangguk malu-malu. "Ahaha ketauan deh," ucapnya polos.

"Kenapa kamu ga bilang itu kamu? Kenapa harus bikin aku penasaran dulu?" tanyaku padanya.

"Aku takut kamu lupa sama aku," dia menjawab lirih sekali.

"Hah? Apa?" tanyaku karena tak mendengar dengan jelas.

"Gapapa, pengen aja," jawabnya. "Kamu mau kemana sekarang? Aku liat kamu habis dicopet, aku antar ya." Dia menawarkan.

"Mau pulang aja, tadinya mau ke cafe kucing, tapi ga jadi aja deh," aku berdiri, ingin segera beranjak. "Boleh deh, makasih ya mau antar,"

Devan juga berdiri, aku berniat untuk jalan duluan, tapi dia menahan tanganku.

"Y-yaudah ayo ke cafe kucing," ucapnya malu-malu, kedua manik matanya seakan mengharapkan sesuatu.

"Aku udah ga ada uang, Devan," jawabku.

"Aku bisa bayarin kamu dulu, ayo ke cafe kucing aja, aku tau kok," ucapnya sambil menarik tanganku.

"Emangnya kenapasih?" tanyaku padanya karena kebingungan.

"Bisakah kamu habiskan waktu hari ini sebentar saja untukku?"

Aku melihat wajahnya memerah, begitu juga telinganya. Ternyata Devan masih sama—menggemaskan. Aku buru-buru mengangguk antusias—menyetujuinya. Lalu aku lihat wajanya tersenyum senang sekali.

"Ayo kita ke cafe kucing!" jawabku sembari berinisiatif menggandeng tangannya.

Kami berjalan menuju parkiran, aku masih menggandeng tangannya, dia hanya diam saja sembari tak henti-hentinya tersenyum. Persis seperti anak anjing yang dibawa jalan-jalan oleh majikannya.

Dia memakaikan helm di kepalaku, lalu memiringkan motor vespanya agar aku bisa naik. Selama perjalan kami hanya diam saja, sesekali aku meliriknya lewat kaca spion. Pria ini masih tak henti-hentinya tersenyum membuatku semakin gemas saja. Aku ingin sekali memeluknya saat ini, tapi tak mungkin aku lakukan. Motor vespa ini melaju cepat memberantas kemacetan. Sampai kami tiba di cafe tujuan.

Cafe ini bernuansa menyenangkan. Dengan dinding bercat pink dan ungu dan juga pagar yang bercat putih. Sebelum masukpun, kami sudah disambut oleh kucing-kucing yang mengintip lewat jendela besar.

Menggemaskan sekali, rasanya aku ingin membawa pulang satu. Aku bergegas ingin masuk ke cafe itu, tapi tiba-tiba Devan berdeham keras.

"Kenapa?" tolehku padanya.

"Emangnya ga ada yang ketinggalan?" Aku berpikir keras, sepertinya tidak ada. Barang belanjaanku ada di jok vespanya Devan—tadi dia menyuruhku untuk memasukannya disitu, tasku juga sudah kena copet, lalu apa?

Devan mendengus pasrah, lalu mengulurkan salah satu tangannya sambil menoleh ke arah lain—pura-pura tak peduli. Otakku yang lemot ini mencoba berpikir keras dan aku mengerti.

"Ahaha, iya, anak anjingku ketinggalan," ucapku sambil menggandeng tangannya untuk masuk cafe.

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang