Tak terasa sudah hari terakhir saja, dan benar, tak ada yang istimewa lagi selain kejadian di kereta itu— bisa jadi itu hanya istimewa bagiku.
Bus kami tiba di pusat oleh-oleh—destinasi terakhir kami. Aku turun bersama rombongan kelasku. Mengambil keranjang untuk oleh-oleh, lalu bergegas berpencar.
Aku dan Jessi berada di bagian souvenir. Kami berpencar di bagian itu. Aku melewati berbagai lorong, sampai salah satu lorong menyita perhatianku, lorong lukisan. Hatiku selalu tenang melihatnya. Aku memperhatikan setiap lukisan tanpa memperhatikan sekitar. Tiba-tiba kakiku menginjak salah satu kaki seseorang yang berdiri di belakangku, "S-sorry," kataku.
"Ah iya gapapa," katanya sambil tersenyum ramah. Sudah takdirku disini, aku bertemu Devan. "Lagi liat-liat lukisan juga, Ra?" tanyanya.
Ya iyalah kambing, apalagi yang ada di depan gue kalau bukan lukisan, kandang ayam? Cibirku dalam hati.
"Ehehe iyanih."
Tiba-tiba dia merubah posisinya untuk berdiri di sampingku.
"Lo tahu, Ra? Di dalam lukisan ini ada perasaan yang sebenarnya tidak bisa dibeli menggunakan uang," ucapnya sambil melihat lukisan—tanpa menoleh padaku. "Tapi namanya juga manusia, mereka melakukan bagaimanapun cara untuk mendapatkan uang, sampai-sampai perasaanpun harus dijual." Kali ini dia menoleh.
Aku hanya bisa menatapnya lekat. Mencoba mencerna apa yang dia katakan.
"Tapi itu bagus, dengan begitu perasaan kita bisa tersampaikan dan tak sedikit orang akan mengerti kan?" Aku hanya mengangguk, meng-iyakan.
"Lo keren," ucapku tiba-tiba, dia menoleh, menatapku lamat-lamat. Aku tersadar, aku merasa wajahku memanas menahan malu. Aku memutuskan untuk pergi saja tanpa peduli apa yang ada dipikirannya. Itu pengungkapan yang terlalu jelas.
Tanpa aku sadar, dia tersenyum— melihatku lari kocar-kacir.
🔰🔰
Liburan berakhir begitu saja—melelahkan. Semenjak libur panjang semester, aku tak henti-hentinya memikirkan kejadian di Malang. Itu membantu moodku tetap baik walau berkali-kali mendengar orangtuaku bertengkar.
Selama liburan aku memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan menggambar, karena hanya itu hal yang menyenangkan bagiku. Aku menggambar banyak wajah idol kpop—menyibukkan diri sendiri. Tak jarang aku juga bermain bersama temanku seperti hari ini.
"Ceritain doi kalian dong," kata Bina si tukang kepo ini.
Kami sedang berada di warung makan yang tidak jauh dari rumahku—warung bebek madura kesukaan kami bertiga. Makanan yang paling ditunggu-tunggu dua temanku ini, jika bermain kerumahku.
"Ya Allah, Bin, lo berdua tau ga sih? Si pakboy itu deketin gue mulu, padahal kan dia udah punya pacar," curhat Tika sambil cemberut.
"Emang pacarnya ga cemburu gitu?" tanyaku.
"Ga tau kayaknya mereka berdua emang sama-sama gitu deh, jadi saling ga peduli, tapi ya gimana ya, gue kan bisa baper juga lama-lama diginiin terus."
"Udah diemin aja, Tik. Kalau perlu lo ga usah respon lagi," jawab Bina menasehati.
"Enak lo ngomong," jawabnya ketus. "Lo sendiri gimana? Udah bisa move on sama noh udang?" tanya Tika tiba-tiba.
Bina hampir tersedak daging bebek yang hendak ditelannya. "Ya belom lah, mana dia deket sama semua cewek di kelas, sedih banget gasih gue?" jawabnya memelas.
"Nah lo sendiri gimana, Ra?" tanya Tika padaku.
"Sialnya gue makin suka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless [Completed]
RomansNamaku Dhira Samantha. Banyak orang mengira hidupku baik-baik saja, nyatanya tidak. Hidupku penuh pahit, bukan karena memang semenyedihkan itu, tapi karena Tuhan tidak pernah mengizinkanku untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan. Aku bersemayan di...