bab 38

4 2 3
                                    

"Dhira kenapa? Kok lesu sekali? Masakan Mamahku semalam bikin kamu sakit perut?" tanyanya polos. Aku menggeleng sambil tersenyum. Aku tidak ingin membuat Devan bingung jadi aku menjawab sejujurnya saja.

"Dua minggu lagi, aku akan pindah ke luar negeri, Devan," ucapku sambil menunduk.

Kami sedang di kelasku sehabis kelas selesai. Devan duduk di bangku depanku. Ketika melihatku sedih, dia berdiri dan berlutut di sampingku, serta menggeser tubuhku agar menghadapnya. Dia menangkup tanganku lagi.

"Pindah kenapa, Dhira?"

"Ayahku mau pensiun, jadi aku harus pindah ke luar negeri untuk tinggal bersama kakak." Aku melihat raut wajahnya sekilas. Matanya memampangkan kekecewaan. "Maaf, Devan." Tanpa aku sadari air mataku mulai memenuhi pelupuk mata.

Dia berusaha menghapus air mataku yang mulai jatuh satu-persatu, lalu berkata, "Gapapa, Dhira. Dhira ga harus minta maaf. Devan bisa ngerti."

Tuhan, sungguh baru kali ini aku mendapat kasih sayang dari seseorang begitu dalamnya, lalu tega diakhiri begitu saja?

Aku tak tahan lagi. Aku berhambur memeluk Devan dengan erat sekali. Rasanya aku tidak ingin melepaskannya sampai kapanpun. Devan berdiri dan aku ikut berdiri. Dia masih mendekapku. Aku menangis di dada bidangnya dan itu membuat jaketnya basah.

"Aku mau disini, Devan. Aku mau sama Devan disini," ucapku sambil sesenggukan.

Dia berkali-kali mencium puncak kepalaku—mungkin karena tidak tahu harus merespon apa. Dia juga mengelus-elus rambut dan punggungku. Kali ini benar-benar hanya pelukannya yang bisa membuatku tenang. Andai aku egois, aku akan culik Devan, dan aku bawa ke luar negeri bersamaku.

"Sejauh apapun Dhira berada, aku akan tetap sayang Dhira," bisiknya pelan di telingaku.

Aku mendongakkan kepalaku untuk menatapnya. Aku yakin, wajahku jelek sekali. Dia menangkup wajahku, dan berusaha membersihkan wajahku dari air mata.

"Devan janji?"

"Bahkan aku bisa janji lebih dari itu. Devan akan nunggu Dhira sampai kapanpun, dengan perasaan yang masih sama. Devan janji itu."

Aku tersenyum, lalu berjinjit, dan mencium pipinya. Aku menciumnya karena aku tidak tahu harus berkata apa. Pipi Devan langsung merah setelah aku menciumnya. Dia tersenyum dan membalas mencium pipiku berkali-kali. Aku sangat mencintainya.

Kami berjalan keluar kelas setelah air mataku hilang sepenuhnya. Aku menggenggam tangannya, dan tanpa sedikitpun berniat melepaskannya. Tiba-tiba dia berhenti.

"Kenapa?"

"Tinggal dua minggu lagi ya, Ra?"

Aku mengangguk. Wajah Devan seakan sedang memikirkan sesuatu—aku tidak tahu dia sedang memikirkan apa.

"Berarti waktu kita juga tinggal dua minggu lagi?"

Aku mengangguk.

"Ayo kita habiskan bersama!" Dia berseru kegirangan.

Aku mengangguk dan tersenyum lebar sekali.

"Jadi kita mau jalan-jalan kemana dulu? Hari ini ke central kota yuk!"

"Ayok!"

Waktu berjalan begitu cepat. Kita menghabiskan waktu bersama. Berusaha melupakan kenyataan bahwa sebenarnya kita juga dikejar oleh waktu. Benar kata Devan saat itu, dia tidak ingin menyia-nyiakan waktu denganku. Malaikat yang menjabat sebagai Pangeranku ini tidak henti-hentinya membuatku tersenyum.

Senyuman paling tulus yang jarang aku berikan kepada siapapun.

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang