Setelah sebulan penuh aku meyakinkan kedua orang tuaku untuk memperbolehkanku bertemu Dhira, akhirnya mereka menyetujuinya tanpa persyaratan. Mereka memang orangtua terbaik.
Sebenarnya aku hanya tahu dia tinggal di negara mana, dan di kota mana, tanpa tahu alamat tepatnya, tapi aku tidak akan menyerah untuk mencarinya.
Setelah sampai di negaranya, aku menyewa hotel untuk beberapa hari. Tanpa pikir panjang—setelah menaruh barang di hotel— aku langsung mencarinya naik taxi. Aku tidak peduli berapa harga yang aku bayar.
Dengan mengitari kota ini setelah beberapa saat, aku merasa bahwa kota ini sama indahnya seperti Dhira.
Udara sejuknya menari-nari dengan dedaunan. Cahaya matahari tidak pernah meninggalkan seluk-beluk kota ini. Awan-awan bergerak seirama. Bahkan pertokoan antik turut menghiasi. Siapa yang tidak senang tinggal di kota ini?Aku mencarinya di berbagai tempat. Di cafe, di taman kota, di museum, di taman bermain, dimanapun tempat yang mungkin akan dia datangi. Berhari-hari aku mencarinya. Lelah itu pasti, tapi aku sudah berjanji pada diriku bahwa aku tidak akan pulang sampai aku menemukannya.
Hari ini aku menemukan sungai yang sangat indah. Tempat ini cukup ramai, sama seperti sungai di negaraku. Aku ingat pernah melihat Dhira menangis di pinggir sungai dekat negaraku, jadi mungkin dia ada disini. Aku berkeliling menjelajahi pinggir sungai, memperhatikan setiap orang, sampai pada akhirnya aku lelah. Aku memilih duduk di salah satu bangku yang tertata rapih tepat menghadap sungai.
Angin disini sejuk sekali. Benar-benar kota yang indah. Aku yakin Dhira menyukai kota ini.
Cukup lama aku duduk disitu, sampai seorang wanita dengan rambut pendek yang dipaksakan diikat menarik perhatianku. Dia berjinjit-jinjit di depan sebuah pohon entah sedang apa. Aku hampir tertawa dibuatnya. Aku melihat sangkar burung di pohon itu, awalnya aku berpikir dia ingin mengambil sangkar itu, tapi ternyata aku salah. Wanita itu menaruh sepucuk surat di dahan dekat sangkar itu, lalu pergi meninggalkannya.
Karena aku penasaran, akhirnya aku memutuskan untuk mengambil surat itu. Lagi juga, mana mungkin surat itu akan ditujukan pada burung-burung di dekatnya, jadi aku mengambil, membuka, dan membacanya.
Aku hampir tersentak bahkan dari awal surat itu. Pandanganku langsung teralih pada punggung kecil yang berjalan menjauh itu. Tapi aku tidak terburu-buru, aku memilih untuk membacanya terlebih dahulu.
Setelah membaca keseluruhan, aku semakin yakin itu Dhira. Iya Dhira. Wanita yang sangat aku cintai, wanita yang menaruh harapan langkanya hanya untukku, wanita yang sabar menungguku. Aku mengejarnya—secepat apapun yang aku bisa.
Dia hampir naik bus. Aku buru-buru menarik tangannya lalu membawanya ke dekapannku. Aku tidak peduli apa orang-orang memperhatikan kami atau tidak. Aku hanya ingin memeluk wanita satu-satunya milikku ini.
"Kamu salah, Ra. Tuhan mengabulkan doamu. Aku bangun dan kembali sehat," ucapku padanya setelah bis itu sudah pergi.
Aku merasakan tubuhnya menegang, lalu melepaskan pelukannya dariku. Dia menunjuk-nunjuk wajahku.
"K-kamu ... kamu ... Devan?" ucapnya parau dengan wajah yang ketakutan.
"Iya, Ra. Aku Devan, bukan setan."
Dia masih ketakutan. Perlahan-lahan memundurkan tubuhnya dariku. Dia hampir saja jatuh dari trotoar jika aku tidak menarik tangannya lagi.
Aku menangkup kedua pipinya, lalu mengangkatnya agar mendongak menatapku.
"Ini aku, Dhira Samantha. Aku Devan Ardlo. Orang yang kamu sukai sejak SMP, yang hobinya melukis, yang kamu kira sudah meninggal."
Dari raut wajahnya, kali ini sepertinya dia percaya. Dia langsung memelukku erat sekali. Kami hampir berpelukkan sepuluh menit disana. Sampai akhirnya aku mendudukannya di kursi halte. Untung saja halte sedang sepi. Aku berlutut di bawahnya, menangkup tangan mungilnya, lalu tersenyum kearahnya.
"Kamu masih disini, Devan," ucapnya tersedu, lalu melanjutkan, "Malaikatku masih disini." Lalu dia memeluk leherku karena aku masih berlutut di bawahnya.
Aku mengelus kepalanya lembut. "Aku baru sadar dari koma satu bulan yang lalu, Dhira. Selama koma, rasanya aku terus menerus mendengar suaramu. Bahkan ketika kamu sudah pergi."
Dia menangkup pipiku, mengangkat kepalaku, lalu menciumku bibirku pelan. "Aku sangat mencintaimu, Devan."
"Tanpa kamu berkata, aku sudah tahu, Tuan Putri."
Aku mengangkat tubuh kecilnya, lalu menggendongnya dengan kakinya yang melingkar di pinggangku. Dia mengalungkan tangannya di leherku dan menempelkan hidungnya di hidungku—gemas. Saat ini, kami berdua sama-sama tidak takut menumbuhkan harapan di diri masing-masing, karena kami berjanji akan bersama selamanya, jadi apa yang harus ditakutkan?
••
Kita memang berhak mendapat akhir yang bahagia, Dhira.
••
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless [Completed]
RomanceNamaku Dhira Samantha. Banyak orang mengira hidupku baik-baik saja, nyatanya tidak. Hidupku penuh pahit, bukan karena memang semenyedihkan itu, tapi karena Tuhan tidak pernah mengizinkanku untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan. Aku bersemayan di...