bab 44

4 2 2
                                    

Finally! Hari ini adalah hari keberangkatanku. Sejak satu jam yang lalu aku sudah menunggu di bandara. Terlalu cepat sebenarnya, tapi aku sudah tidak sabar jadi mau bagaimana lagi.

Semenjak tiga hari yang lalu, sebenarnya Devan sangat sulit dihubungi. Aku bertanya pada Rendi, Rendi hanya menjawab bahwa Devan mungkin saja sibuk. Chatanku kemarin masih menjadi chatan terakhirku dengannya. Aku sering mencoba menchatnya, tapi tidak pernah ada balasan. Sebenarnya, aku sedikit khawatir, tapi mungkin Rendi benar, dan aku tidak ingin mengganggunya.

Walau begitu, moodku hari ini masih sangat baik. Meskipun hanya diberi waktu sebentar, tapi aku senang sekali. Devan pasti akan mengajakku melakukan hal-hal yang menyenangkan. Aku tidak sabar bertemunya, lalu ingin sekali memeluknya.

Pesawatku sudah tiba, aku menaruh koper di bagasi atas, lalu duduk di dekat jendela. Cuaca hari ini tidak terlalu bagus, tapi cuaca tidak ada pengaruhnya dengan perasaanku.

Selama perjalanan, aku hanya memikirkan hal-hal menarik yang akan aku lakukan bersamanya. Aku juga tak sabar melihat senyumnya lagi. Pasti dia semakin menggemaskan. Walaupun baru 6 bulan berpisah denganku. Jujur, aku sudah sangat rindu.

Sesampainya disana, aku mencari taksi, lalu berangkat menuju apart lamaku. Meskipun pada awalnya keluargaku berniat menjual apart tersebut, akhirnya mereka mengurungkannya. Katanya, agar suatu hari tidak repot jika ada urusan kembali kesini. Waktu itu aku sangat senang mendengarnya.

Aku sampai di apart, membuka pintu, lalu menyapa girang. "Halo apart lamaku. Apa kalian masih ingat denganku? Hohoho." Lagi-lagi aku berbicara dengan dinding-dinding. Entah kenapa berbicara dengan benda mati jauh lebih menyenangkan daripada berbicara dengan manusia.

Setelah 7 jam perjalanan, aku beranjak membersihkan diriku terlebih dahulu. Setelah rapih, aku segera berangkat ke rumah Devan. Tidak peduli, aku capek atau tidak.

Saat di perjalanan, aku sempat mampir ke toko kue untuk kujadikan sebagai oleh-oleh. Untung saja, tukang ojekku baik hati ingin berhenti di toko kue terlebih dahulu. Jadi aku tak perlu repot pesan ojek lagi.

Aku sampai di depan rumah Devan. Hatiku berdegup kencang, tidak sabar ingin melihat wajahnya dari dekat.

Aku memencet bel. Sekali, tidak ada yang menjawab. Dua kali, tidak ada yang menjawab lagi. Tiga kali, tidak ada juga, dan begitu seterusnya.

Kemana semua penghuni rumah ini? Apa mereka sedang pergi? Atau ada acara keluarga juga? Aku tak menyerah. Aku mengetuk pintu pagar berkali-kali. Meneriaki salam juga berkali-kali, tapi tetap tidak ada jawaban.

Aku memutuskan menelpon Devan, tapi nahas, nomornya tidak aktif. Menelpon Mamahnya juga tidak diangkat. Setelah itu, aku mencoba menelpon Rendi, dan diangkat. Suara dari ujung sambungan telpon terdengar begitu ramai.

"Rendi?" panggilku.

Dia menyahut, "Iya, kenapa, Dhir?"

"Kamu tahu Devan dimana?"

"D-Devan?" Suaranya terdengar bergetar.

"Iya Devan. Barangkali kamu lihat."

"Lo dimana sekarang, Dhir?"

"Rumahnya Devan. Kayaknya ga ada orang."

"Gue kesana sekarang," ucapnya, lalu mematikan telpon begitu saja.

Aku kebingungan. Kenapa Rendi terdengar begitu gelisah? Ada apa? Kenapa aku merasa ada yang salah?

Tak selang berapa lama, aku melihat motor Rendi ada di ujung kelokan. Dia berhenti tepat di depanku, mematikan motor, lalu turun. Wajahnya terlihat sangat gelisah.

"Kenapa, Ren?"

"Devan."

Firasatku mulai tidak enak. "Devan kenapa?" tanyaku sambil mengguncangkan lengannya.

Dia menghela napas, meraup wajahnya, lalu berkata, "Devan kecelakaan."

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang