bab 39

4 2 1
                                    

Hari minggu pagi ini, aku sudah siap dengan setelan kemeja bergaris merah dan putih yang kumasukan kedalam celana, dengan celana jeans warna navy kulotku. Aku menguncir kuda rambutku dan mengenakan sneakers putih kesayanganku. Mungkin aku terlihat seperti orang yang tidak punya sepatu, tapi sungguh sepatu ini sangat nyaman.

Hari ini Devan mengajakku pergi ke taman bermain yang cukup besar di kota ini. Tanpa menunggu lama, Devan sudah menunggu di depan pintu. Aku mengambil tasku,  membuka dan menutup pintu, lalu bergegas turun ke lantai bawah apart.

Devan semakin terlihat tampan dengan jaket bomber hijau lumut, dengan dalaman berwarna putih, dan celana jeans warna navy. Kali ini rambutnya disisir dengan rapih.

Kali ini dia tidak menaiki motor tapi menaiki mobil sedannya—katanya agar tidak kepanasan, padahal sebenarnya aku tidak masalah.

Kita sampai di tempat tujuan. Taman bermain ini memang benar-benar besar sekali. Saat sedang antri mengambil karcis, Devan berkata, "Aku akan naik semua wahananya!" Tapi nyatanya, kita baru naik roller coaster sekali, dia sudah memilih duduk.

"Mana katanya mau naik semuanya?"

"Istirahat bentar."

"Kamu udah istirahat 15 menit."

"Eh-eh tuh, kita naik scooter listrik aja yuk!" ucapnya mengalihkan. Dia berdiri dan menghampiri stan scooter dan berbicara sesuatu pada pria yang menjaga stan itu. Aku kira kita akan menyewa dua scooter, tapi nyatanya hanya satu.

"Kok cuma satu?"

"Naik bareng aja."

"Hah?"

Dia menyuruhku untuk naik terlebih dahulu, kemudian dia menyusul untuk menaikinya juga. Tanganku bertumpu pada stang scooter bagian tengah, sedangkan kanan dan kiriku dijaga oleh tangannya yang mengendalikan stangnya. Badannya yang besar menjagaku dari belakang.

"Ini seriusan kita ga bakal jatuh?"

"Enggak, aku jagain kok."

Scooter mulai berjalan. Awalnya aku sangat takut, tapi Devan terlihat sangat santai. Lama-lama semakin tidak menakutkan, apalagi ada Devan disini.

"Gimana? Ga serem kan?" tanyanya padaku.

Aku menengadahkan kepalaku untuk melihat wajahnya yang berada di atas kepalaku. "Asik banget Devan!" Ini benar-benar menyenangkan. Aku bisa berkeliling taman bermain sambil menikmati angin semilir.

Aku menunjuk-nunjuk banyak permainan. "Nanti kita naik itu! Itu juga! Sama yang itu!" Devan hanya tertawa sambil mengangguk, berkali-kali juga mencium puncak kepalaku. Terkadang, dia juga menempelkan pipinya di pipiku—itu menggemaskan sekali.

Waktu menyewa scooter kami habis. Hanya sebentar, tapi sangat menyenangkan. Kami berjalan ke toko aksesoris dengan tanganku yang melilit tangan Devan. Aku melompat-lompat kegirangan seperti anak kecil dan Devan juga mengikutinya.

"Nih kamu pake yang ini," ucapku menyerahkan bando dengan kuping anjing saat kami di toko aksesoris. Devan memakainya, dan aku benar-benar gemas sekali. Aku menangkup wajahnya, lalu mengunyel-unyel pipinya. Dia juga memakaikanku bando dengan kuping kucing, dan kami berdua memutuskan membeli dan memakainya.

"Ayo kita naik bianglala, Dhira!"

Aku menurutinya, tanpa menghilangkan senyum di wajahku. Taman bermain tidak terlalu ramai, jadi kami tidak perlu mengantri panjang. Cuaca hari ini juga sangat mendukung, jadi kami tidak kepanasan atau kehujanan.

Kami naik ke bilik bianglala berwarna biru. Perlahan-lahan bianglala itu mulai naik, sampai kami hampir tiba di puncak.

"Dhira," panggil Devan ketika aku sibuk melihat-lihat pemandangan.
Aku lantas menoleh kepadanya.

Tanpa kusangka, dia menarik daguku lembut dan langsung mengecup tepat di bibirku.

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang