bab 32

4 2 2
                                    

Rambutnya berantakan—tanpa kusadari, jemariku bergerak menyisirnya. Matanya yang hitam pekat tidak rela mengalihkannya dari mataku. Senyumnya tipis menawan dihias dengan tatapan teduhnya—pria ini benar-benar semakin tampan. Aku berusaha mengatur deru napasku yang tidak teratur ini. Apalagi setelah mendengar ucapannya barusan. Dia berhasil membuatku terbang.

"Aku tahu kamu pasti akan jatuh," lanjutnya dengan wajah yang masih dekat dengan wajahku. Dia tersenyum manis sekali, lalu berbalik badan dan mengambil kotak obat disana.

Aku masih terdiam. Mungkin mataku melotot saat ini. Kejadian apa barusan? Kenapa Devan terlihat beda sekali, bahkan dari tatapan matanya seperti tatapan yang hendak menerkamku.

"Halo! Ra, kok bengong? Jadi mau ngobatin?" ucapnya lirih. Aku tahu dia masih lemas sekarang. Dan kenapa aku berpikir yang macam-macam? Jelas Devan pria yang polos. Lihat wajahnya sekarang! Seakan yang tadi bukan apa-apa.

Aku segera mengambil kotak obat itu dari tangannya. Turun dari meja makan, mengambil semangkuk air panas, lalu mendorongnya ke kamarnya. Dia tiduran di kasurnya. Aku membuka kantung obat demam dan menyuruh Devan menelannya, lalu memeras handuk di mangkuk berisi air hangat untuk mengompresnya. Dia terus-terusan menatapku saat aku melakukan semuanya.

Anak ini sebenarnya berbahaya, tapi dia tidak pernah sadar bahwa dirinya berbahaya.

"Aku mau pulang sebentar lagi, kamu tidur ya," ucapku sambil membereskan kotak obat.

"Yah kenapa pulang?"

KARENA BERBAHAYA BERDUAAN DI RUMAH SEPERTI INI, teriakku dalam hati.

"Ini sudah malam, Devan. Banyak tugas yang belum aku kerjain," jawabku. "Kamu besok masuk kampus kan?"

Dia mengangguk dengan wajahnya yang cemberut. Lagi-lagi pria ini merajuk agar aku tetap berada di sisinya, tapi tidak berapa lama lagi dia tersenyum. Aku mengacak rambutnya, lalu pamit untuk pulang. Aku memaksanya untuk tidak mengantarku sampai keluar karena kondisinya. Setelah perdebatan panjang, akhirnya dia menurut.

Di perjalanan, ditemani angin semilir dan udara yang lembab, aku tak henti-hentinya tersenyum. Malam ini, awan-awan gelap tidak mampu menyembunyikan bulan dan bintang—membiarkan mereka bersinar terang. Hanya karena satu orang, hati yang hancur bertahun-tahun rasanya bisa utuh lagi. Tuhan, aku sangat mencintainya. Benar-benar mencintainya. Tapi apa aku sudah pantas berharap?

Aku masuk ke dalam apartku, menyalakan lampu, dan bergegas mengganti pakaianku dengan piyama. Aku beranjak naik ke atas kasur, menarik Pingku yang sudah menunggu, dan sesekali melirik semua note di dinding.

"Aku mencintaimu, Pingku. Lebih tepatnya orang yang membelimu. Aku sangat mencintainya. Tapi apa aku bisa berharap Pingku? Sejak dulu ketika aku berharap, harapan itu akan menjadi hal paling mustahil untuk tetwujud. Itu sebabnya aku benci berharap dan memutuskan untuk berhenti. Andai aku punya mesin waktu, aku akan ke masa depan, memastikan apa pria itu bersamaku atau tidak. Jika iya, aku akan senang hati berharap."

Malam itu Ibu menelpon, bertanya tentang kabarku dan perkuliahanku. Ayah juga ikut berbicara dari ujung telpon—aku bisa mendengar suaranya. Sepertinya mereka terlihat akur. Kakak dan keluarganya sedang pulang ke rumah, itu yang membuat keadaan di ujung telpon sangat ramai. Ahaha keluarga yang terlihat sangat menyenangkan.

Setelah itu, aku terlelap sambil memeluk semua harapan yang pernah sirna.

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang