bab 37

4 2 5
                                    

Kami, dengan Mamah, Papah, dan Adeknya Devan sedang makan malam bersama di ruang makan. Awalnya aku menolak secara halus ajakan untuk makan malam bersama, tapi Mamahnya Devan berkata bahwa dia lebih ingin mengenalku. Jadi, aku tidak ada pilihan lain selain ikut makan malam bersama.

"Dhira ini temen apanya Devan?" tanya Papahnya Devan.

"Teman SMP sama kuliah, om," jawabku. Papahnya Devan mengangguk lalu melanjutkan makan. Mamahnya Devan sejak tadi masih memperhatikanku. Tiba-tiba dia seperti terlihat sedikit kaget.

"Dev ini yang kayak—," ucapnya terputus. "Ah gajadi."

"Kakak cantik sekali," ucap Diko—adeknya Devan. Dia duduk di sampingku.

"Ah terimakasih," ucapku sambil tersenyum dan mengelus rambutnya. Anak ini tidak ada bedanya dengan Devan, kecuali umur.

"Kamu cantik sekali," ucap Devan tiba-tiba.

"Terimakasih, Devan."

"Kenapa rambutku ga dielus-elus?" tanyanya sambil cemberut.

"Bisa aja anak Mamah," cibir Mamahnya Devan. "Kamu persis kayak Papah kamu, suka cemburu dengan hal aneh." Mamahnya Devan tertawa kecil.

Lalu selanjutnya aku mendengar cibiran bertubi-tubi dari Devan dan Papahnya. Berkali-kali juga diselingin oleh tawa. Si kecil di sampingku hanya memperhetikan sambil tersenyum dengan pipinya yang merah khas anak kecil.

Keluarga ini hangat sekali. Aku baru mengenalnya beberapa jam lalu, tapi aku sudah seperti mengenalnya berbulan-bulan yang lalu. Canda tawa mereka tidak palsu—tidak seperti yang aku dapatkan dari keluargaku. Keluarga impian seperti yang aku lihat.

Makan malam berakhir. Aku membantu Mamahnya Devan membereskan, dan pamit untuk pulang. Devan mengantarku hanya sampai pintu masuk Apartemen—sudah malam katanya. Aku naik ke lantai tempat apartku berada sambil membawa kanvas yang tadi sempat aku selesaikan. Hasilnya lumayan bagus, daripada ketika aku melukis sendiri.

Sampai apart, aku langsung mandi, dan beres-beres. Setelah itu aku mendengar handphoneku berdering.
Itu dari Ibu.

"Iya kenapa, Bu?" tanyaku saat sudah menjawab panggilan itu.

"Ibu mau ngomong sebentar, Ra."

"Iya Bu, ngomong apa?"

"Maaf sedikit mendadak, tapi sepertinya sebentar lagi kita akan pindah ke luar negeri karena Ayah sebentar lagi akan pensiun."

Aku terdiam tidak tahu harus bicara apa. Pikiran langsung simpang-siur di kepalaku. Lalu bagaimana dengan kuliahku? Teman-temanku? Devan? Aku harus meninggalkan semuanya? Aku tersenyum kecut, benar-benar di luar nalar.

"Aku boleh disini aja?"

"Gabisa, Dhira. Yang bisa membiayai hidup kita hanya kakakmu. Rumah disini akan dijual. Ayah juga malas jika kamu harus bolak-bolik ke luar-masuk negeri. Jadi, mau ga mau kamu harus ikut pindah. Papah udah cariin kamu univ yang bagus disana kok."

"Tapi aku mau disini, Bu. Banyak yang ga bisa aku tinggal."

"Maaf, Dhira. Ini udah keputusan tetap. Sudah dulu ya. Ibu kasih kamu waktu dua minggu untuk beresin barang-barangmu. Selamat malam." Lalu Ibu mematikan sambungan telponnya.

Aku terduduk di lantai. Tidak tahu harus gimana. Aku baru saja bahagia, baru saja mengerti arti hidup, baru saja mencintai seseorang, lalu harus berakhir dengan cara seperti ini?

Lagi-lagi, mimpi indahku dibunuh oleh keluargaku sendiri—keluarga yang jelas memberikan perhatiannya padaku saja tidak. Kenapa aku tidak pernah diberikan hak untuk menolak sejak kecil? Aku mencintai mereka, itu jelas, tapi kenapa harus begini?

Aku membenamkan wajahku di lipatan tangan. Tidak tahu harus berkata pada Devan seperti apa. Aku takut dia meninggalkanku.

Aku takut kisah indah ini berakhir.

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang