bab 9

8 3 3
                                    

Semua anak sudah berkumpul di stasiun kereta. Jelas kita berangkat ke Malang naik kereta. Tidak buruk, karena menurutku, kereta adalah kendaraan paling nyaman.

Aku berdiri di tengah kerumunan. Membawa koper dan ransel-ku. Ramai sekali, aku tak bisa menemukan teman-temanku.

Tiba-tiba seseorang menabrak pundakku sedikit keras, "Eh maaf," dia menunduk kearahku, "Dhira ya?"

"Ah-iya." Itu Devan, dengan setelan kemeja biru tua yang tidak dikancing dan dalaman berwarna hitam, menambah kesan cool di dirinya.

"Tau temen sekelas kita semua dimana ga?"

"A-ah, tadi temen ngabarin sih, katanya ada di dekat loket," jawabku sambil mencoba mengalihkan tatapan darinya.

"Kita kesana bareng yuk," ajaknya.

Aku tidak tahu keadaan wajahku seperti apa saat ini. Merah? Hijau? Kuning? Kelabu? Yang jelas masih jelek.

Aku mengangguk tanda setuju. Pria ini berjalan cepat sekali. Tidak memperhatikan aku yang pendek dan kesusahan jalan karena barang bawaanku.

Tiba-tiba dia menengok dan berhenti. Aku berhasil menyusulnya.

"Aduh maaf ninggalin, yaudah jalan duluan aja, gue jagain dari belakang," katanya sambil tersenyum.

Tahan, tahan, Dhira disini belum runtuh karena senyummu. Mengingat prinsip keras dalam hatiku agar tidak luluh lagi.

Dia benar-benar menjagaku dari belakang. Tak jarang dia ikut mendorong koperku agar aku tak kesusahan. Berkali-kali orang ingin menabrakku, dia mencoba menepisnya. "Hati-hati dong," katanya kepada orang yang ingin menabrakku.

Kita sampai di loket paling belakang. Aku melihat teman-temanku, dan dia melihat teman-temannya. Teman-temanku menyuruhku untuk mengambil karcis terlebih dahulu, tapi lagi-lagi Devan menghampiriku, "Udah gue aja yang ambil, sebagai ucapan terimakasih, lo tunggu sini aja," Aku hanya mengangguk, menahan senyumku.

Aku tersenyum, tapi dalam hati aku tak henti-hentinya bersumpah serapah. Kenapa si-sialan ini malah tiba-tiba baik, ketika sedikit lagi aku sepenuhnya melupakannya?

Tak selang beberapa lama dia kembali dan memberikan karcis kepadaku. Aku senyum terpaksa, sambil mengucapkan terimakasih. Kereta kami sampai tidak begitu lama. Gerbong pria dan wanita dipisah—tapi tetap saja, jika ingin ke kantin, pria harus melewati gerbong wanita terlebih dahulu.

Aku duduk di kereta tentunya bersama Jessi, tapi berhubung perkelas jadi Tisa dan Fina bisa duduk bersamaku. Kursi kita saling berhadapan, jadi sangat menyenangkan untuk membicarakan hal random seperti biasanya.

🔰🔰

Sudah tengah malam sejak keberangkatan kami sore tadi, Tisa memintaku untuk menemaninya ke toilet karena aku satu-satunya yang tidak tidur. Daripada bengong seperti orang bodoh, aku memutuskan untuk mengantarnya.

Aku menunggu di luar. Berdiri berpegangan dengan apa yang bisa aku pegang—pintu dekat kamar mandi misalnya. Saat itu goncangan di dalam kereta sedang kencang-kencangnya. Tapi ini menyenangkan bagiku.

Tiba-tiba pintu dari gerbong lain terbuka. Seseorang pria masuk untuk melewati gerbong wanita—habis dari kantin sepertinya. Pria itu membawa se-cup kopi hangat dengan wajah yang masih segar, berbanding terbalik dengan wajahku saat itu.

Itu Devan.

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang