Hari ini, adalah hari keberangkatanku. Aku sudah berkumpul dengan Ayah dan Ibuku di depan bandara. Aku melihat sekeliling. Siapa tahu, Devan ada disini—tapi tidak mungkin, bukan?
Aku memutuskan untuk pergi ke toilet karena malas mencarinya jika sudah di dalam bandara. Tidak terlalu jauh, juga tidak terlalu dekat. Ketika aku ingin belok di kelokan ke arah toilet, aku menabrak seseorang.
"Dhira." Itu Devan dengan topi hitam dan masker putihnya.
"Devan disini?"
"Duduk disitu sebentar yuk!" ajaknya sambil menunjuk bangku yang kosong di tengah-tengah halaman bandara. Aku menurut dan mengangguk.
Ketika kami sudah duduk, Devan berkata, "Jaga dirimu, Dhira. Percaya aku disini akan nunggu kamu sampai kapanpun. Kalau kamu cari aku, aku pasti ada di kota ini. Jangan khawatir."
Aku mengangguk tersenyum, walau sebenarnya aku khawatir. Dia menyingkirkan poniku dan menyelipkannya di belakang telingaku. Tiba-tiba air mataku jatuh—hanya air mata, satu-satunya tanda bahwa aku sangat mencintainya. Mulutku sulit sekali mengatakan bahwa aku mencintainya.
"Nanti sering kabari aku ya, Ra. Jangan menangis, nanti orangtua kamu khawatir." Dia mengelap air mataku dengan jari-jemarinya. Cowok ini, dari wajahnya selalu panik sekali ketika aku menangis.
Aku berdiri dan dia juga ikut berdiri. Aku berjinjit lalu mengecup bibirnya seperti yang dia lakukan kemarin. Matanya terlihat kaget, tapi tak lama dia tersenyum dengan pipi yang merah. Aku berlari ke arah orang tuaku sambil melambaikan tanganku kepadanya. Dia tersenyum dan ikut melambai di tempat.
Selamat tinggal, Devan.
Selama di pesawat, aku hanya diam saja melihat awan yang terlihat diam padahal bergerak. Aku membayangkan jika seseorang tidak sengaja menumpahkan tinta hitam di atas awan putih itu, atau aku juga membayangkan jika dongeng-dongeng itu benar, bahwa ada seseorang yang tinggal di atas awan. Ah... Pasti dia beruntung sekali.
Berkali-kali Ayah atau Ibuku menawarkan makanan, tapi aku benar-benar tidak ada mood untuk memakannya. Andai mereka tahu bahwa aku sangat kecewa. Atau yang lebih sederhana, andai aku bisa berkata jika aku kecewa. Mustahil. Penyakit ini masih saja merepotkan walau sudah bertahun-tahun.
Kami sampai ke negara baru itu. Aku belum pernah kesini—dan sebenarnya tidak ingin. Negara yang cukup bersih dan indah. Aku tersenyum kecut. Tetap saja hidupku tidak akan indah lagi.
Sampai sana, kami dijemput oleh kakakku, istri, dan juga anaknya yang semakin lucu. Selama perjalanan, aku hanya bisa berkomunikasi dengan baik dengan keponakanku itu. Seorang anak kecil selalu mengingatkanku pada pria itu.
Lagi-lagi, ketika aku jauh dengannya, aku sangat enggan menyebut namanya. Aku takut terlalu ingat, terlalu sedih. Itu berbahaya. Jadi aku tidak ingin menyebut namanya ketika aku jauh dengannya.
Hari-hariku kembali seperti dulu—ketika aku belum bertemu dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless [Completed]
RomansNamaku Dhira Samantha. Banyak orang mengira hidupku baik-baik saja, nyatanya tidak. Hidupku penuh pahit, bukan karena memang semenyedihkan itu, tapi karena Tuhan tidak pernah mengizinkanku untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan. Aku bersemayan di...