bab 36

7 2 3
                                    

Beberapa saat kemudian kami disibukkan dengan lukisan masing-masing. Devan berada di easel sampingku. Tangannya jauh lebih lihai dan terlatih untuk menumpahkan warna-warna yang indah di atas kanvas.

"Udah dasarnya Ra?"

"Sudah."

Dia melihat punyaku. "Bagus kok, udah rapih juga," ucapnya. Dia menambahkan sedikit warna putih di palet milikku. "Ini buat bayangannya Ra. Taruh di tempat yang menurut kamu dapat cahaya aja."

Aku lantas mengikuti ajaran Devan. Tapi seperti biasa, aku tetap tidak bisa melukisnya dengan baik. "Ini gimana sih, Dev? Kok malah jadi berantakan?"

Dia beranjak lalu berdiri di belakangku. Dia memajukan kepalanya dan berhenti tepat di atas pundak kananku—dan tepat di samping telingaku. Tangan kanannya mengarahkan lembut tangan kananku. "Pelan-pelan aja, Ra," ucapnya tepat di telingaku. Dengan kalimat yang begitu lembut dan suara yang berat. Lagi-lagi aku bisa mendengar deru napasnya dengan jelas, ini benar-benar membuat telingaku panas dan wajahku memerah. Tanpa aku sadari, aku memejamkan mataku sebentar, berusaha mengatur napas, dan berbicara lumayan keras, "Devan!"

"Eh iya kenapa, Ra?" Dia malah menolehkan wajahnya padaku dan aku menolehkan wajahku padanya. Membuat wajah kita malah semakin dekat.

"Kamu lapar tidak?" Pertanyaan bodoh yang tiba-tiba keluar dari mulutku.

"Eh emang suara perutku kedengaran, ya?"

"I-iya," ucapku gugup karena sebenarnya aku tidak mendengarnya.

"Ehehe lumayan sih, Ra."

"Y-yaudah. Aku buatin makan ya?"

"Loh trus ini gimana ngelukisnya?" tanyanya kebingungan.

"Kan bisa dilanjutin nanti," ucapku sambil meninggalkannya.

Sungguh aku hanya ingin kabur sebentar darinya saat ini. Devan polos, tapi aku tidak sepolos itu! Dia bernapas tepat di bagian sensitif hampir semua wanita. Bagaimana aku tidak panas dingin merasakannya? Pria dan wanita berduaan di dalam rumah memang berbahaya.

Aku menuju dapur, membuka laci-laci disana. Jujur saja, rumah ini lumayan lengkap. Semua barangnya tertata rapih. Rumah yang tidak tingkat, namun luas. Aku mengambil roti, daging, sayuran dan juga mayo. Aku memilih untuk membuatkannya sandwich.

Tiba-tiba aku mendengar suara kulkas di belakangku terbuka. Awalnya aku kira Devan, tapi ternyata aku melihat seorang anak kecil. Dia menutup pintu kulkas dan juga melihatku. Tiba-tiba anak itu berteriak.

"Mah! Disini ada maling!"

Aku panik setengah mati. Ingin rasanya aku menyumpal mulut anak ini, tapi apa daya aku tidak tega. Seorang wanita sekitar umur 40an datang sambil membawa sapu lidi. Aku terkejut, tapi dia juga ikut terkejut. "K-kamu siapa?" tanyanya.

Tiba-tiba Devan muncul dan berteriak, "M-Mah! Itu teman Devan!" Wanitu itu menengok ke arah Devan lalu menengok lagi ke arahku. Dia menurunkan sapu lidi yang tadi dia angkat ke udara. Ini mamahnya Devan? Lalu apa yang akan dikatannya melihat anaknya berduaan dengan perempuan di dalam rumah. Aku benar-benar takut, tapi respon wanita itu tidak terduga.

"Oh temannya Devan," ucapnya lembut sambil tersenyum. "Kamu buat apa?"

"Sandwich tante," ucapku sesopan mungkin.

"Buat Devan kok, Mah." Tiba-tiba wanita itu memukul lengan Devan.

"Jadi kamu nyuruh dia bikin sandwich buat kamu makan?! Harusnya kamu yang buatin dia sandwich! Jelas-jelas dia tamunya," omel Mamahnya Devan.

"M-maaf, Mah."

Kalau boleh jujur, pemandangan ini lucu sekali. Tiba-tiba dia berbisik ke Devan—tapi tetap terdengar olehku.

"Kamu nemu cewek cantik ini dimana? Kok ga pernah kenalin ke Mamah?"

Hopeless [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang